Monday, July 06, 2015

3-In-1 Project: Namaku Likat, by Elen Yulance

Harapan adalah obat penenang bagi jiwa yang berteriak menggeliang. Pemuas dahaga musafir yang berkhayal akan negeri yang mereka sebut ‘surga’. Harapan adalah kata-kata hiburan yang mengalihkan dunia nyata, menjadi bias dan tak berdimensi. Maka hidup adalah film bergerak pembuktian ada atau tidaknya harapan

            Aku dipanggil Likat. Penuh kesabaran, demikianlah namaku diartikan. Setiap hari adalah perjuangan bagiku. Bergumul dengan keinginan untuk meneruskan hidup atau menjadikannya kenangan bagi yang kutinggalkan. Tunggu dulu! Siapa yang aku tinggalkan?. Perasaanku saja. Sebatang kara aku menghabiskan hari-hari sejak empat tahun yang lalu. Hidup tiap paginya serasa menjejalkan garam pada luka yang terbuka menganga. Begitu perih dan meradang makin parah. Hingga akhirnya aku merasakan hal yang berbeda. Inilah monolog kehidupanku. Dapatkah kau pada akhirnya memberikan definisi harapan dari kisahku?
            Aku terkenang saat dulu ibuku sering berkata, “Hidup itu hanya sesaat di dunia. Ada tempat yang disebut Surga. Tempat yang begitu indah dan tidak akan pernah ada duka lagi di sana”. Aku sempat melakukan pencarian akan surga dan Yang Empunya, karena kata-katanya. Dari satu keteraturan, aku berpindah ke keteraturan yang lain. Mengkaji setiap unsur surga dan Si Empunya yang mereka suguhkan sebagai imbalan bagi manusia yang setia dengan segala syarat dan aturan yang diberikan. Tapi aku mulai meragukan keberadaannya. Sepertinya surga itu bukan bagianku. Bagaimana seorang yang hanya hidup dengan luka-luka batinnya, bisa menjadi manusia setia? Dan kehidupanku pun semakin kacau. Aku semakin terpuruk dalam kekalutan buatanku sendiri. Surga tidaklah membantuku menjadi sembuh, hanya fatamorgana dari perjalananku. Hingga akhirnya aku tidak lagi melakukan pencarian dan mulai menutup segala hal yang terbuka dalam pikiranku.

            Lalu aku kembali teringat kata-kata ibuku, “Jika kamu bersedih dan berkecil hati, ingatlah bahwa itu tidak terjadi selamanya”. Ibuku rupanya pandai bermain kata. Mana ada kesedihan yang berlangsung singkat? Hingga akhirnya ia beristirahat, dia tak mampu berdamai dengan masa lalunya. Bayangan akan ketidakmampuan membahagiakan ibundanya tercinta dan kehilangan akan kepergiaannya yang begitu mendadak, menghancurkannya perlahan. Ibuku hanya seorang penyair yang lari dari kesedihannya. Enam belas tahun ia bersedih dan aku seperti mengikuti jejaknya, empat tahun aku juga berkubang di lumpur yang sama. Tidak ada yang salah dari penampilanku dalam pandangan manusia. Hanya terlihat sedikit kacau di sana dan di sini. Tapi masih dapat dikompromikan dan dilapangdadakan. Toh, menurut mereka aku sedang berduka, kehilangan panutan dalam hidup. Ditinggal si pemberi restu. Aku dikasihani dan rasanya manis sesaat, lama kemudian menjadi sangat menjijikkan. Bagai rayap, aku makin keropos karenanya.

            Lalu aku teringat perkataan seseorang yang selalu berhasil mengacak-acak pikiranku. Ia berkata, “Tuhan itu adil”. Mungkin apa yang ia katakan ada benarnya. Bukankan Tuhan mengambil ibuku dan memporakporandakan keluargaku, tapi menggantinya dengan begitu banyak keluarga lain yang menyayangiku. Walau harus diakui tidaklah sepenuh jika itu adalah milikmu sendiri. Tapi, itu lebih dari cukup untuk membuatku mengkhayalkan suatu saat aku akan memiliki satu seperti itu.

            Tuhan memang adil. Di saat aku hidup dalam cerita sedihku sendiri dan menghabiskan waktu dalam lautan tangisanku, Ia memberikan aku penyakit yang menguasai apa yang selalu kubanggakan. Suatu penyakit yang pada akhirnya akan menjadikanku beban bagi orang lain. Hal ini membuatku sadar dan bangkit. Aku ingin melayani, sebelum aku dilayani. Mengangkat beban orang lain, sebelum bebanku diangkat. Memberikan apa yang tersisa padaku, sebelum akhirnya aku menjadi tidak berguna sama sekali bagi sekitarku. Memang menyakitkan menjalani apa yang terjadi pada tubuh fanaku. Tapi aku akan mengerahkan segala yang ada untuk memperpanjang waktuku dan beristirahat pada saat aku menjadi manusia.

            Dan pada akhirnya, aku teringat pada perkataan dari seseorang yang begitu mengenalku, “Belajarlah untuk melepaskan. Belajar untuk tidak menggenggam apapun. Hanya menerima apa yang diberikan padamu setiap harinya”. Ironi sekali bukan? Menganggap kehilangan sebagai cara mendapatkan yang terbaik. Melepaskan apa yang dimiliki dan hidup dengan apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan. Aku mulai belajar melepaskan dan tidak menggenggam apapun.

            Pertama, aku belajar untuk melepaskan kebencianku. Tiga puluh lima tahun yang lalu, orang tuaku memutuskan untuk mengikat diri mereka dalam masalah tiada akhir. Beberapa orang menyebutnya pernikahan, dan aku menyebutnya kiamat yang dipercepat. Tiada yang berjalan dengan baik dalam lembaga suci itu. Hanya seorang menjaganya jauh dari kenajisan, sedangkan yang lain bermain api dan terbakar di dalamnya. Dan tiga belas tahun kemudian, sang nahkoda melayarkan kapal lain. Aku belajar menerima apa yang ayahku pernah lakukan sebagai hak untuk mencari kebahagian hidupnya. Kebencian itu perlahan sirna, bahkan aku begitu rindu dapat bercengkrama dengannya sekali saja, sebelum alam membatasinya.

            Pelajaranku berikutnya adalah melepaskan kemarahanku. Bertumbuh dalam didikan seorang wanita yang patah hati, menjadikanku penjaga setiap hal baru yang datang dan mendekat. Kalau-kalau itu akan menyakitiku dan dia. Kalau-kalau itu akan menghancurkan surga kecil yang ia bangun dengan susah payah. Bagaikan tuan, aku menjadikannya pengatur dan penguasa akan hidupku. Membiarkannya bereksperimen dengan mimpi-mimpinya yang gagal.

           Setiap jenjang pendidikan yang kulalui selalu menorehkan prestasi membanggakan. Senyuman yang tersungging indah dibibirnya membuatku bertahan dari sehari kesehari. Hingga akhirnya, kebanggaan itu mulai kolaps. Tertekan rupanya dengan segala perlakuan yang diberikan. Atau sebenarnya ia sedang menjerit mengemis perubahan. Meminta seonggok kebahagiaan yang nyata. Satu tahun lamanya, aku bergumul dengan pikiranku sendiri. Aku benci dengan segala hal yang diatur dan disusun tanpa melibatkanku di dalamnya. Aku ingin didengar juga, dimintai pendapat akan kehidupanku sendiri. Alam akhirnya mendeklarasikan siapa yang sebenarnya berkuasa. aku bertahan dengan segala tekanan hingga ia akhirnya beristirahat. Aku belajar menganggap apa yang ibuku lakukan adalah wujud cintanya padaku. Cinta yang di dalamnya penuh ketakutan, kalau saja aku tidak akan merasakan kebahagiaan sepertinya.

            Pelajaran yang hingga kini masih aku pelajari adalah melepaskan diriku sendiri. Seperti perkataanku sebelumnya, aku sedang berupaya untuk memberikan diriku bagi sesamaku. Menjadikan kebutuhan mereka sebagai alasan keberadaanku diciptakan di dunia ini.  Menjadikan apa yang terjadi padaku sebagai penghancuran keakuanku. Bukankah saat engkau ingin membangun rumah yang baru, engkau harus menghancurkan yang lama. Apa yang aku alami sekarang adalah tahapan penghancuran itu. Memang tidaklah mudah menerimanya, tapi tidak begitu susah juga menjalaninya. Mungkin satu tahun, atau bisa jadi sepuluh tahun. Tapi pada akhirnya aku akan menjadi manusia sebelum aku beristirahat.

            Lalu bagaimana dengan kau yang sekarang sedang membaca dan mendengar ceritaku? Apakah menurutmu pengharapan dalam kisahku? Dan bagaimana dengan pengharapan dalam hidupmu. Berbagi akan menjadikanmu kuat dan menguatkan yang membutuhkan.

***

Tentang Penulis:
Elen Yulance Yosepha. Jika harus memilih antara “Fight, Dream, Hope, Love” perempuan kelahiran 19 Juli ini mantap memilih Love. “Cinta memampukan kita untuk berjuang, bermimpi, dan berharap,” ucapnya. Novel klasik yang paling berkesan baginya adalah maha karya Ernest Hemingway yang bertajuk The Old Man and The Sea. Bagi Elen, novel ini menggariskan perjuangan, mimpi, harapan, dan rasa cinta akan diri sendiri, serta alam.

No comments:

Post a Comment