Wednesday, July 08, 2015

3-In-1 Project: Bayangan, by Mentari Sandiastri

Untuk kau yang aku inginkan, namun belum menjadi milik kami.

Apa kabar? Kuharap kau sedang bersenang-senang di sana. Kami di sini baik-baik saja, walaupun cuaca panas sekali. Seringkali kami tertawa, membayangkan dirimu bersama Tuhan di atas sana berkelakar sambil mengarahkan matahari ke arah kami. Seperti apa cuaca di sana? Pasti menyejukkan. Penuh dengan angin yang membuai menenangkan. Ah, tak heran kau betah di sana. Sementara di sini kami berkeringat, kau bersantai di sana di bawah teduhnya tangan Tuhan. Kadang aku berpikir, jiwa-jiwa sepertimu sungguh beruntung bisa begitu dekat denganNya!

Monday, July 06, 2015

3-In-1 Project: Namaku Likat, by Elen Yulance

Harapan adalah obat penenang bagi jiwa yang berteriak menggeliang. Pemuas dahaga musafir yang berkhayal akan negeri yang mereka sebut ‘surga’. Harapan adalah kata-kata hiburan yang mengalihkan dunia nyata, menjadi bias dan tak berdimensi. Maka hidup adalah film bergerak pembuktian ada atau tidaknya harapan

            Aku dipanggil Likat. Penuh kesabaran, demikianlah namaku diartikan. Setiap hari adalah perjuangan bagiku. Bergumul dengan keinginan untuk meneruskan hidup atau menjadikannya kenangan bagi yang kutinggalkan. Tunggu dulu! Siapa yang aku tinggalkan?. Perasaanku saja. Sebatang kara aku menghabiskan hari-hari sejak empat tahun yang lalu. Hidup tiap paginya serasa menjejalkan garam pada luka yang terbuka menganga. Begitu perih dan meradang makin parah. Hingga akhirnya aku merasakan hal yang berbeda. Inilah monolog kehidupanku. Dapatkah kau pada akhirnya memberikan definisi harapan dari kisahku?

Wednesday, May 20, 2015

3-In-1 Project: Bertemu (Dia) Kamu, by Desva Herzani

Untuk seseorang yang tidak mungkin kusebutkan namanya...

Kala itu langit berdarah mencipratkan semburat merah jambu di angkasa. Menyongsong parade kepulangan siang dan berpesta menyambut sang malam. Aku yang terdampar sendiri di sini, dengan pesawat kelas ekonomi yang jauh melayang dari ibu kota. Menapaki keramaian Yogyakarta yang mulai dikepung alunan musik dan nyanyian di tepi jalan. Lama rasanya kebisingan bisa terasa menenangkan, juga menyenangkan. 

"Karina..." kemudian suara itu menyapaku dari belakang.

Seolah sedang menepuk punggungku dengan kehangatan. Aku menoleh. Aku hanya bisa tersenyum. Melihat wajah nakal jenaka itu tersenyum lagi. Raut jahil yang kembali dapat kutatap langsung dengan kedua bola mataku.

"Adrian..." 

Tuesday, May 19, 2015

3-In-1 Project: Alunan Senja, by Anitya Wahdini

My gift is my song
And this one’s for  you...

Hari belum usai, namun sudah terasa begitu melelahkan. Kulirik arlojiku. Saat ini pukul 17.30 dan aku masih menyusuri lorong sekolah, dengan rambut ekor kuda acak-acakan, sepatu keds yang talinya tidak diikat dengan benar, dan kaos olah raga yang penuh keringat. Benar-benar bukan penampilan terbaikku.

Klub modern dance yang membuatku seperti ini. Setiap Jumat sore, Kak Joy, pelatih dance kami, memang agak sedikit lebih kejam dari biasanya. Mungkin dipikirnya, esok sudah weekend, sehingga ia seolah mendapat izin untuk memforsir kami hingga tetes keringat terakhir untuk menyelesaikan koreografi ciptaannya.

Dan hari ini, aku benar-benar merasa lebih lelah dari biasanya. Seribu kali lipat! Kak Joy memarahiku berulang-ulang karena aku membuat banyak kesalahan. Ia bahkan menghukumku merapikan studio tari setelah aku melakukan kesalahan fatal, terjatuh saat berada di puncak piramida.

Wednesday, March 18, 2015

The Boy Who Wants to Fly

He is listening to the radio as I enter his room with a tray of breakfast - two slices of toast, butter, and a glass of milk because he wouldn't take anything else. The annoyingly jovial breakfast show broadcasters are talking about some exotic holiday destinations. I doubt that he understands any word, but I know he really enjoys the sound the device makes. His eyes wander across the room, dark since the curtain hasn't been opened yet. Finally he acknowledges my presence and I smile at him.

"Good morning, Mr Evans," I say, putting the tray on a small table across where he's sitting. "Hungry yet? Fresh milk today, just the way you like it. And why is it so dark here?" I open the curtain and he squints.

I give him an apologetic look, and he takes his milk. He takes a sip, and then puts the glass back down without a word. I sigh.

Thursday, March 05, 2015

Thank God I Have Parents, Not Sharents

Warning: Postingan ini berpotensi nyinyir.

Layaknya orang-orang yang berusia hampir 20 tahun, gue lengket sama internet. Ada dua kondisi di mana gue sering terlihat: dengan henpon di tangan atau laptop di pangkuan. Gue juga lumayan aktif di media sosial. Gue punya akun Twitter, Facebook, Path, Instagram, ask.fm, dan tentunya blog. Ketika gue nggak posting apapun di media sosial, gue jelalatan aja ngeliatin timeline. Di media sosial ada salah satu fenomena yang udah narik perhatian gue setahunan lebih. Fenomena sharenting.

Jadi sharent itu apa sih? Kata Wikipedia, sharent itu portmanteau (penggabungan kata) share dan parent. Jujur, istilah ini baru-baru ini aja gue temuin. Sebelumnya gue nggak pernah tau apa nama 'bener'-nya. Oke, kembali ke arti sharent. Share artinya berbagi, parent artinya orangtua. Berbagi yang dimaksud di sini adalah berbagi informasi tentang anak di media sosial. So, sharent adalah sebutan buat orangtua yang demen sebar informasi soal anaknya di media sosial - foto-foto di Facebook/Instagram/Path, postingan di blog, anekdot di Twitter, dan lain-lain.
Picture from State of Digital

Thursday, February 26, 2015

Rasa

“Aku takkan mati.”
Kata-kata itu terus terngiang di benak Roy, meskipun tiga minggu telah berlalu. Ia masih hafal betul getaran setiap suku kata. Menusuk setiap jengkal pori-pori kulitnya seperti angin musim dingin. Roy bukan pria penakut. Ia telah menghadapi berbagai ancaman, ujian, dan pertempuran. Tak satu pun dapat melumpuhkannya. Tetapi tiga kata itu terus mengangkat bulu romanya. Roy memejamkan mata, tapi cepat-cepat ia membukanya lagi. Dalam gelap, kata-kata itu menggema dan terdengar makin keras. Fungsi otak dan telinganya jauh meningkat ketika matanya terpejam. Roy membenamkan kepalanya di tangannya yang kasar, dan telapak tangannya menyentuh rambut pirangnya yang basah penuh keringat.