Wednesday, May 20, 2015

3-In-1 Project: Bertemu (Dia) Kamu, by Desva Herzani

Untuk seseorang yang tidak mungkin kusebutkan namanya...

Kala itu langit berdarah mencipratkan semburat merah jambu di angkasa. Menyongsong parade kepulangan siang dan berpesta menyambut sang malam. Aku yang terdampar sendiri di sini, dengan pesawat kelas ekonomi yang jauh melayang dari ibu kota. Menapaki keramaian Yogyakarta yang mulai dikepung alunan musik dan nyanyian di tepi jalan. Lama rasanya kebisingan bisa terasa menenangkan, juga menyenangkan. 

"Karina..." kemudian suara itu menyapaku dari belakang.

Seolah sedang menepuk punggungku dengan kehangatan. Aku menoleh. Aku hanya bisa tersenyum. Melihat wajah nakal jenaka itu tersenyum lagi. Raut jahil yang kembali dapat kutatap langsung dengan kedua bola mataku.

"Adrian..." 
Aku tidak akan kembali di tanah ramai ini jika bukan karenamu. Jika bukan karena pertemuan tidak sengaja kita tepat setahun silam ketika kau menanyakan waktu di bandara Adi Sucipto, lengkap dengan pakaian pilotmu. Tidak jika bukan karena kita tidak sengaja saling menyenggol di satu tempat wisata ramai yang mulai pelit oksigen. Tidak jika bukan karenamu yang mau mengajakku bicara di sebuah angkringan murah berjam-jam lamanya. Tidak jika bukan karena berbagai macam postcard yang selalu mampir ke rumahku atas nama dirimu. Tidak jika bukan karenamu.

"Aku udah nemu bukunya. Bagus, tapi butuh puluhan kali baca demi ngerti maksudnya si Gibran. Demi satu buku aja, perjuangannya berlipat-lipat," ceritamu antusias.

Kembali lagi kita di angkringan ini. Kamu bawakan aku kenangan lama, kemudian kamu tawarkan lagi yang baru.

"Aku udah bilang kan, kalau emang kamu cuma suka buku sejarah pesawat, ya nggak usah maksa baca prosa Kahlil Gibran," kataku tertawa.

Kamu justru cengengesan sendiri. "Tapi ada yang aku hafal. Sebentar..." kemudian kamu memejamkan mata, nampak berpikir keras. "Hatiku akan menjadi tempat tinggal keanggunanmu."

"Serta dadaku akan menjadi kubur bagi penderitaanmu," aku melanjutkan.

Kamu tersenyum. Hangat dan teduh. "Aku akan selalu mencintaimu..."

"Sebagaimana padang rumput yang luas mencintai musim bunga," kulanjutkan lagi. Kamu hanya menyeruput wedang jahe dari gelas beling. Tetapi aku bisa melihat sudut bibirmu tersenyum. 

Kita menghabiskan setengah malam di sana. Cinderella saja sudah pulang karena keajaiban mantranya sudah ditelan angka dua belas. Para pelayan juga sudah mengelap dahi kelelahan. Tapi kamu dan aku, kita masih duduk di sini dan tertawa terpingkal-pingkal. Seolah kebahagiaan ini akan dibendung oleh malam untuk selama-lamanya. Kamu membuat waktu lumat di sekelilingku.

"Udah pagi..." katamu tersenyum jahil. Terlihat kamu menantangku untuk duduk disini sampai matahari lebih merdeka. Jam dinding sudah menunjukan pukul dua dini hari. 

"Kita pulang," aku kemudian bangkit berdiri. Kamu menatapku sebentar, tetapi kemudian ikut berdiri. Kita berjalan keluar, berusaha menyambut tiga perempat malam. Tetapi kemudian halilintar pecah di langit. Teriak-teriak mengganggu penduduk bumi. Hujan kemudian turun ikut-ikut seolah tidak mau kalah pamor. 

Kamu melepaskan jaketmu kemudian mengizinkan aku berteduh di bawahnya bersama. "Aku ini percikan benang-benang perak yang dihamburkan dari surga oleh dewa-dewa," kamu memulai lagi. Melirikku dari sudut matamu dan kita tertawa bersama. "Kamu tidak mau melanjutkannya?" tanyamu memaksa. 

Aku tersenyum, "Alam kemudian meraupku bagai menyirami ladang dan lembahnya." 

Kamu tersenyum menang, "Aku ini taburan mutiara yang dipetik dari mahkota raja Ishtar."

"Oleh puteri Fajar, untuk menghiasi taman-taman Mayapada." 

"Aku akan selalu mencintaimu..."

Aku memukul bahumu, tertawa. "Apa sih, itu udah beda prosa." Kamu hanya cekikikan tidak peduli. 

Lalu kamu menatapku sambil tersenyum, "Aku akan selalu mencintaimu... Aku ingin belajar mencintaimu dari hujan. Biar dia harus terbang melayang dari ketinggian, kemudian dia jatuh tersakiti dan lenyap, dia tetap memilih jatuh kembali ke bumi."

"Apa sih, gak jelas."

"Aku serius, Karina," katamu masih sambil tertawa-tawa. Aku berusaha ikut tertawa. Kamu tidak mengerti jantung ini sedang loncat-loncat karena berdegup tidak karuan. Kamu membuat aku melayang, di sisi lain aku tidak bisa memutuskan kamu cukup serius dengan ucapanmu atau tidak.

 "Kita pacaran aja gimana?" tanyamu lagi, masih tertawa. Aku masih rentan dengan hal itu. Aku masih terjebak di ketakutan yang berasal dari masa lalu. Aku takut, aku belum siap. 

Kita berjalan di bawah gerimis yang semakin membesar menuju hotelku. Kamu bahkan mengantarku sampai ke depan pintu kamar. Kamu basah kuyup, karena jaket yang kamu lebarkan ternyata hanya menutupi sebagian dirimu. "Have a nice sleep, sayang," katamu.

Aku tersipu. Tapi sungguh aku hanya bisa merengut dan memasang wajah sebal. "Apaan sih, lebay. Nggak enak didengernya tahu nggak."

"Bukannya kita udah jadian?" katamu sambil tertawa-tawa tidak jelas. Bercanda, atau serius. Entahlah...

"Ya udah balik sana gih, besok tugas juga."

"Iya, kamu juga istirahat yang cukup, supaya besok nggak kecapean nemenin aku tugas."

"Adrian, apa sih..."  Aku mendorongmu, tetapi kamu justru menangkap tanganku, kemudian menatap mataku. Ada satu, dua, tiga detik.

"Karina, sekarang aku serius. Aku serius sama ucapanku, akunggak lagi main-main." Kemudian matamu menusuk langsung ke retina mataku. Dengan sorot mata yang runcing dan tajam.

"Aku cinta kamu," katamu begitu saja.

Aku hanya sanggup menaikan alis dan menganga tidak percaya. Menunggumu menyemburkan tawa seperti biasanya. 

"Buat apa semua postcard yang selalu aku kirim ke kamu, supaya kamu tahu aku di mana dan tahu kalau aku akan selalu ingetkamu. Menurut kamu, buat apa aku sering tiba-tiba telfon kamu dan nanya kamu di mana, supaya aku tahu kamu baik-baik aja. Menurut kamu, buat apa aku sering kasih kamu emot smilesebelum jam tidur kamu, supaya kamu tahu kalau kamu adalah alasan aku tersenyum."

"Adrian..." Sayangnya, kamu serius.

"Dan untuk apa aku ngajak kamu ketemuan di Yogya? Sedangkan aku bisa terbang langsung ke Jakarta, karena aku mau kamu inget, hari ini genap satu tahun kita kenal. Supaya kamu tahu di tanggal yang sama, satu tahun yang lalu, aku pada akhirnya jatuh cinta pada seorang gadis yang memberitahuku tentang waktu, kemudian menumpahkan coffeenya di sepatu dan tas ku."

Hening. Tidak ada yang mau bicara. Atau sebenarnya, tidak ada yang bisa bicara. Kita hanya saling berdiskusi dengan angin dan bercakap dengan waktu. "Adrian, aku..."

"Aku mencintaimu, Karin." Kamu mengulang deklarasi itu sekali lagi.

"Aku terbang ke Jakarta besok. Aku udah siapin seat businessuntuk kamu. Kamu yang jawab, Karin. Pilihan kamu juga kalau kamu mau tetap di sini dan mengakhiri semuanya di sini juga."

Kemudian kamu tersenyum dan meninggalkan aku terpojok di sana seorang diri. Bagaimana jika sebenarnya aku ingin mengatakan "iya" tetapi hatiku masih merintih kesakitan dan otakku mengingatkanku akan kejadian yang dulu? Aku tidak tahu, Adrian.

***

Wajahmu secerah mentari di luar sewaktu kamu menangkap sosokku keluar dari lift sambil menarik koper. Aku bisa melihat mentari bersinar dan awan yang sedang menari membuat perayaan. 'Selamat Adrian, kamu menang' gumamku dalam hati.

Kamu memenangkan pertarungan sengit yang menghantam kepalaku semalaman. Aku tahu luka lama itu masih basah, tetapi aku tidak tahu kapan dia akan mengering. Kamu barangkali adalah obat yang sengaja Tuhan jatuhkan di hadapanku. Aku harus bergerak, harus jalan, harus pindah. Moving on. Aku menyerahkan masa laluku yang kelabu itu ke tangan kenangan dan berlari ke arahmu. 

Aku tidak mau bercerita. Aku tidak mau membahasnya. Mengingatnya saja membuatku butuh tabung oksigen. "Aku tahu kamu pasti memilih untuk pulang," katamu jenaka, di antrian bagasi di bandara. 

"Jangan kepedean!" timpalku.


Kamu hanya tertawa "tapi terbuktikan" tidak peduli dengan sekitar. "Makasih ya, udah milih untuk jatuh cinta."

Aku tersenyum. "Sewaktu kamu jatuh cinta, kamu menyerahkan semuanya pada cinta. Kamu menyerahkan masa lalu, kamu menyerahkan masa depan. Entah cinta mau memberikan kebahagiaan atau kepedihan, itu terserah dia. Kamu hanya pengemis yang menunggu untuk diberi makan. Emangnya kamu siap?"

"Aku bahkan udah ngemis cinta kamu," kamu tersenyum lagi.

Aku tidak berhenti memikirkan perkataanku tersendiri. Jika kamu siap, apakah aku benar-benar sudah siap? Atau sebenarnya akulah satu-satunya yang tidak siap? Aku tidak mendengar suara tekad itu bergemuruh di dalam dadaku. Justru keraguan yang keras menuntut masa tenggang. Aku berjalan di lorong yang membawaku ke badan pesawat dengan gontai. Mataku hanya menatap jalanan di depan karena otakku sedang sibuk.

"Karina..."

Sebuah suara tiba-tiba menggema menyengatku. Langsung menyetrum sekujur tubuhku. Suara yang entah berapa lama hilang dari peredaran. Suara yang menusuk lukaku lagi dan membedahnya sampai lebar. Suara yang masih berhutang janji, janji untuk kembali.

"Keenan..."

Nama itu lama luput dari bibirku. Nama yang menciptakan sejuta kenangan dan membuatku menunggu sampai berlumut. Nama yang semalam kuputuskan untuk kutinggalkan. Untuk tak pernah kusebut lagi dan kudoakan lagi. 

"Apa kabar, Karina?" Kemudian dia tersenyum.

Aku berusaha membayangkan senyumanmu, Adrian. Tawamu, prosa yang kau bacakan, genggamanmu, kecupanmu, segalanya. Tetapi mengapa senyuman Keenan begitu indah sampai-sampai aku lupa caranya mengingatmu. 

"Aku tidak menyangka kita berjumpa lagi, di sini, sore ini..." sambungnya lagi

Aku juga tidak percaya. Jika perjumpaanku dan kamu, Adrian, adalah penyembuh, maka aku sebut apa perjumpaanku dengan Keenan? Jika perjumpaanku denganmu, Adrian, adalah suatu kebaikan Tuhan, lantas kusebut apa pertemuanku dengan satu-satunya orang yang membuatku rela menunggu? 

Aku menunggunya, Adrian. Aku kira dia tidak akan pernah datang. Aku kira kamu datang untuk menggantikan kekosongan yang dia sisakan. Tetapi kemudian dia datang di saat yang sama. Lalu, aku harus bagaimana?

Terlebih lagi, jika aku harus menghabiskan empat puluh lima menit ke depan duduk di sebelahnya.

Sedangkan kau di cabin depan, membawaku dan dia terbang, untuk menikmati langit senja yang bertransformasi jadi malam. 

Siapapun, tolong aku!

***

Tentang Penulis
s
Desva Hikmah Herzani, lahir di Jakarta pada tanggal 19 Desember 1998. Gadis manis ini memiliki satu kegemaran yang pasti, yaitu menulis, menulis, dan menulis. Cita-citanya menerbitkan novel suatu hari nanti. Selain itu, Desva juga memiliki berbagai hobi, antara lain makan, ngemil, baca novel, nonton bioskop, dan berkhayal.

2 comments:

  1. Entaa, who's the writer of this story? Aku suka sekali bahasanya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adek kelasku di SMA Jeng, namanya Desva. Gilaaa maaf baru bales, but here's her blog - you should check it out! http://desvaherzani.blogspot.com.au/

      Delete