Wednesday, July 08, 2015

3-In-1 Project: Bayangan, by Mentari Sandiastri

Untuk kau yang aku inginkan, namun belum menjadi milik kami.

Apa kabar? Kuharap kau sedang bersenang-senang di sana. Kami di sini baik-baik saja, walaupun cuaca panas sekali. Seringkali kami tertawa, membayangkan dirimu bersama Tuhan di atas sana berkelakar sambil mengarahkan matahari ke arah kami. Seperti apa cuaca di sana? Pasti menyejukkan. Penuh dengan angin yang membuai menenangkan. Ah, tak heran kau betah di sana. Sementara di sini kami berkeringat, kau bersantai di sana di bawah teduhnya tangan Tuhan. Kadang aku berpikir, jiwa-jiwa sepertimu sungguh beruntung bisa begitu dekat denganNya!

Hari ini aku kembali mengecek. Hasilnya sama. Kau belum bisa menjadi milik kami. Sudah kering air mataku, dan kami hanya bisa melempar pandangan lesu ke arah satu garis sialan yang menentukan bahwa kau belum bisa datang kepada kami. Awalnya kami frustrasi. Marah. Kecewa. Bingung. Tapi kini kami hanya bisa menarik nafas panjang dan bertukar pelukan. Bertukar kata-kata penyemangat, dan saling mendoakan.

“Kita coba lagi,” kata lelaki yang kuharap suatu hari nanti bisa kaupanggil Ayah.

Kata-kata itu sudah terlalu sering kami ucapkan, tapi sama sekali belum kehilangan arti. Harapan. Yang bagi orang lain terlihat semu, tapi selalu terpampang nyata bagi kami. Aku tak tahu, tapi kami berdua tak pernah kehilangan semangat. Tak pernah letih berdoa dan meyakinkan diri bahwa kau akan segera menjadi bagian dari hidup kami. Dalam tidurku kuajak dirimu berbicara, seolah-olah kau sudah dekat denganku walaupun kau masih seratus persen ada di dalam dekapanNya.

Malam ini tak berbeda. Sekelilingku sudah gelap, namun aku belum juga melangkah ke alam mimpi. Kupejamkan mataku, membayangkan kau dalam dekapanku dan ayahmu, akhirnya menjadi bagian dari hidup kami seutuhnya.

“Jadilah milik kami,” bisikku. “Kami menginginkanmu...lebih dari apapun.”

Ketika aku akhirnya terlelap, kau menyapaku di mimpiku, sepasang mata yang besar dan berbinar menatapku dari pelukan ayahmu.

Suatu saat nanti.

***

Untuk kau yang selalu kuimpikan, namun tak juga datang kepada kami.

Matahari masih menyengat, tapi bahkan sinarnya yang terik tidak menggoyahkan semangatku hari ini. Semangat dan harapan kami berdua, serta doa-doa kami selama ini. Kembali kami akan melihat apakah Tuhan akhirnya setuju melepaskanmu dan meletakkanmu di dalam hidup kami. Aku tak tahu apa yang akan kami terima. Ayahmu tak berkata apa-apa, namun tatapan matanya jelas memperlihatkan emosinya yang bergejolak. Aku hanya bisa memegang tangannya, berusaha menenangkan dirinya walaupun jantungku berdetak luar biasa kencang.

“Kita akan baik-baik saja,” kataku. “Apapun yang terjadi.”

Aku memandang sekelilingku. Seluruh ruangan ini berwarna putih. Nuansanya menyesakkan, tetapi kutahan rasa sesakku. Aku tidak tahu apa yang akan kami dengar. Terlalu banyak kemungkinan. Apapun itu, tekadku untuk merasakanmu di dekapanku tidak pernah pudar.

Seseorang berpakaian rapi dengan jas putih memasuki ruangan. Wajahnya datar. Orang yang disebut dokter itulah yang akan menyampaikan kabar untuk hari ini. Entah kabar buruk atau baik, aku tidak tahu. Di tangannya ada beberapa lembar kertas, dan di kertas-kertas itu nasibmu untuk saat ini tertulis. Apakah kau akan menjadi milik kami, atau tetap tinggal di atas sana untuk sementara.

Aku dan ayahmu duduk tegak, wajah kami penuh harap. Genggaman tangan kami menguat. Jantungku berdetak keras. Sungguh, aku tak ada bayangan apakah yang akan kami dengar. Dalam hati aku terus berdoa, dengan detak jantung yang terus menguat.

Semoga, Tuhan. Semoga...

Sang dokter duduk di depan kami, dan kami berdua memandanginya seolah-olah seluruh hidup kami ada di tangannya. Ada benarnya. Masa depan kami, kebahagiaan kami, dan seluruh cita-cita kami terpampang di kertas-kertas yang ada di tangannya. Cita-cita kami untuk mendapatkanmu. Kami sudah menunggu begitu lama.

“Belum,” hanya itu yang bisa kudengar.

Wajahku tertunduk, tetapi aku tidak menangis. Aku sudah menduga sejak awal. Kau belum bisa menjadi bagian dari hidup kami. Untuk sementara kau tetap menjadi bagian dari khayalan, mimpi, dan doa-doa kami. Kami akan membuatmu nyata, entah kapan. Tapi hari itu akan tiba. Suatu saat nanti.

Kurasakan ada tetesan air di tanganku, dan aku menoleh. Sosok di sebelahku, yang selama ini selalu menjadi batu karangku. Ia tertunduk, tak kuasa menahan jatuhnya air mata. Batu karangku, kini mulai terbelah.

***

Untuk kau yang mengisi mimpi-mimpi kami, baik ketika mata kami terbuka maupun terpejam.

Di bawah sinar matahari yang kembali terik ini hanya doaku yang mampu menyejukkan. Doaku padamu, agar segera datang kepadaku. Doaku agar Tuhan segera melepaskanmu untukku. Sungguh, tak ada di dunia ini yang lebih kuinginkan selain memelukmu, merawatmu, membesarkanmu. Semua harta di dunia tak ada nilainya dibandingkan keberadaanmu di hidup kami. Aku tak akan menyerah untuk mendapatkanmu, dan aku tahu kau akan segera hadir di hidup kami. Segera.

Ketika dunia menyuruh kami untuk menyerah, kami tegas menolak. Kami tak mau begitu saja menyerah kepada takdir. Kami akan terus berusaha, dan berharap. Ketika dunia mengira optimisme kami adalah tanda kegilaan, kami pura-pura tak mendengar. Dunia boleh tertawa, dan kami tidak peduli sedikit pun. Hanya kau yang kami pedulikan. Setiap langkah yang kami ambil semuanya demi membawamu ke dunia kami.

Hari ini aku kembali terbaring di dalam ruangan putih menyesakkan itu, dan ayahmu kembali ada di sampingku. Seperti sebelumnya, tangan kami bersatu erat. Kembali kami terjebak dalam ketidaktahuan. Kami tak bisa menebak apakah kali ini kami akan tersenyum, atau kembali kecewa seperti sebelumnya. Kali ini aku terlalu lemah untuk berpikir apa-apa. Hanya kau yang ada di pikiranku. Kau yang selalu kami impikan, namun tak juga menjadi milik kami.

“Kali ini,” kata ayahmu. “Pasti.”

Aku hanya diam. Kembali kupejamkan mata, memainkan adegan yang sudah lama berputar di benakku. Kau di pelukanku, tertawa riang dan memandangiku dengan sepasang mata yang berbinar-binar. Aku ingin membawa adegan itu ke alam nyata. Aku ingin dapat menyentuhmu dan tidak hanya melihat bayanganmu berenang di kepalaku.

Kali ini aku tak mau melihat wajah sang dokter ketika ia memasuki ruangan. Aku memalingkan muka. Melihat wajahnya hanya akan menghancurkan emosiku—walaupun aku masih tak tahu apa yang akan ia katakan. Dokter tersebut duduk di samping ranjang tempatku berbaring, dan ayahmu menyadari aku tak mau bertatapan langsung dengan wajahnya. Genggamanku di tangan ayahmu menguat. Aku menghela nafas ketika dokter tersebut membolak-balik kertas-kertas di tangannya—seperti sebelumnya. Kudengar ia menarik nafas dan mulai membacakan apa yang ada di kertas-kertas tersebut.

Banyak hal yang ia katakan. Namun hanya ‘selamat’ yang bisa kudengar, dan setelah itu semuanya pudar. Pudar dengan sukacita, cinta, dan air mata bahagia.

***

Untuk kau yang selangkah lagi akan menjadi milik kami, setelah jalan yang panjang dan berliku.

Kau akan tiba, nak. Kau akan segera menghiasi hidupku dan ayahmu, setelah penantian kami yang luar biasa. Akhirnya kau akan menjadi milik kami. Mengandungmu dan merasakan setiap gerakan kecilmu adalah anugerah terindah yang Tuhan karuniakan kepadaku. Setiap kali kaki kecilmu menendang, aku teringat perjuangan dan penantian kami yang tak pernah berakhir, serta doa-doa kami yang selalu mengalir, dan ingatan akan hal-hal tersebut yang membuatmu begitu berharga.

Dan tak terasa, kau sedang dalam perjalanan menuju dunia ini. Perjalananmu penuh rintangan, seperti prediksi banyak orang. Penuh rasa sakit. Tapi semua ini tidak ada apa-apanya. Kehadiranmu nanti akan menggantikan semuanya, dan berbekal pikiran itu aku menerjang semua rasa nyeri hari ini. Terus kuingatkan diriku bahwa aku sedang membawamu ke dunia. Rasa sakit yang tak tertahankan ini kulalui agar aku bisa menyentuhmu, mendengar tangisanmu, merawatmu dengan baik. Semua untukmu, nak.

“Terus, sayang,” di tengah eranganku kudengar suara ayahmu. “Terus berusaha. Sebentar lagi.”

Tenagaku makin menipis. Aku sudah terengah-engah, dan pandanganku mulai kabur. Tapi perjalananmu ke dunia ini belum berakhir, nak. Tugasku hari ini belum selesai. Aku masih harus mengantarmu. Dengan sekuat tenaga aku melanjutkan usahaku, walaupun aku sudah nyaris tak bisa bergerak. Sekelilingku mulai berputar, tetapi suara tangismu yang nyaring memecahkan semuanya. Selamat datang di dunia, nak. Perjalananmu berakhir sudah, dan perjalanan baru akan dimulai—

Kemudian mereka meletakkanmu di dadaku. Tenagaku kali ini sudah habis, tapi aku masih bisa mendekapmu erat seperti yang sudah kuimpikan bertahun-tahun. Sebisa mungkin kubuka mataku lebar-lebar. Kau luar biasa tampan, dan semua definisi keindahan terpampang di wajahmu. Aku langsung jatuh cinta, dan air mataku mengalir. Wajahmu...kau begitu indah, dan semuanya terekam jelas di dalam kepalaku walaupun sekelilingku kembali berputar. Kurasakan air mataku mengalir makin deras, mengaburkan pandanganku hingga semuanya gelap. Duniaku pudar, diiringi suara tangismu dan suara berbagai mesin di ruangan ini.

Dan suara tangismu mengantarkanku ke perjalananku yang baru. Perjalanan yang tak pernah kuinginkan datang secepat ini, dan akhirnya harus memisahkanku darimu. Bencilah aku karena tak bisa memenuhi janji-janjiku padamu. Tapi ketahuilah bahwa di mana pun aku berada kau tetap menjadi yang paling berharga selama hidupku—dan matiku. Jika aku harus membayar kehadiranmu dengan nyawaku, maka jalan itulah yang akan kuambil. Bencilah aku karena itu, nak. Betapa aku berharap semuanya bisa berjalan sempurna.

Selamat datang di duniamu, anakku. Maafkan ibumu yang hanya bisa mengirimimu dekapan dari surga.

Tentang Penulis
Mentari Raissa Sandiastri. Memilih Dream jika dihadapkan pada empat kata-kata penuh makna, “Fight, Dream, Hope, Love.” Bagi perempuan penyuka tenis ini, bermimpi memang mudah dilakukan kapan saja, di mana saja. It is something we often take for granted. Tapi tetap saja mimpi adalah fondasi dari segala pencapaian. Semua hal hebat di dunia ini terjadi karena pelakunya pernah bermimpi.

Mentari terkesan pada novel klasik Frankenstein karya Mary Shelley. Novel itu mewakili keinginan hampir semua manusia untuk menaklukkan kematian, sekaligus menunjukkan betapa hukum alam begitu sakti sehingga siapa yang berani mencoba melawan kematian akan menemui akhir yang sangat buruk.

No comments:

Post a Comment