Tuesday, May 19, 2015

3-In-1 Project: Alunan Senja, by Anitya Wahdini

My gift is my song
And this one’s for  you...

Hari belum usai, namun sudah terasa begitu melelahkan. Kulirik arlojiku. Saat ini pukul 17.30 dan aku masih menyusuri lorong sekolah, dengan rambut ekor kuda acak-acakan, sepatu keds yang talinya tidak diikat dengan benar, dan kaos olah raga yang penuh keringat. Benar-benar bukan penampilan terbaikku.

Klub modern dance yang membuatku seperti ini. Setiap Jumat sore, Kak Joy, pelatih dance kami, memang agak sedikit lebih kejam dari biasanya. Mungkin dipikirnya, esok sudah weekend, sehingga ia seolah mendapat izin untuk memforsir kami hingga tetes keringat terakhir untuk menyelesaikan koreografi ciptaannya.

Dan hari ini, aku benar-benar merasa lebih lelah dari biasanya. Seribu kali lipat! Kak Joy memarahiku berulang-ulang karena aku membuat banyak kesalahan. Ia bahkan menghukumku merapikan studio tari setelah aku melakukan kesalahan fatal, terjatuh saat berada di puncak piramida.
Alhasil, aku pulang 30 menit lebih lambat dari semua orang di klub. Bahkan mungkin dari semua orang di sekolah, karena lorong ini terasa begitu gelap dan sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Satu-satunya pergerakan adalah langkah kakiku yang sedikit gemetaran. Entah karena takut, atau karena kelelahan.

Ah, semua gara-gara Mona!

Sampai bulan lalu, Mona adalah sahabatku. Kami berdua bisa dibilang perempuan-perempuan paling populer di kelas 11. Namun semua berubah sejak aku menyatakan ingin keluar dari klub modern dance. Aku ingin mendalami hasratku di bidang sastra dan bergabung dengan klub menulis.
Mona tak mau mengerti. Ia menyebutku pengkhianat. Menurutnya, aku bisa menjatuhkan harga diriku sendiri karena ingin berubah menjadi gadis kutu buku. Menjatuhkan harga diri kelompok pertemanan kami. Baginya, tidak semua gadis beruntung bisa menikmati popularitas di SMA, dan aku malah menyia-nyiakannya.

Mona tak pernah bisa memahami jika jiwaku memberontak saat menjadi populer seperti sekarang ini. Aku tidak ingin dikenal dengan cara ini. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi membaca di sudut nyaman perpustakaan karena takut dipermasalahkan oleh teman-temanku sendiri. Aku juga tidak ingin mengirim hasil karyaku ke majalah sekolah dengan anonim.

Aku ingin dunia mengetahui siapa diriku sebenarnya. Dan aku ingin mengekspresikan segalanya lewat tulisan. Hampir setiap hari aku memikirkan semua ini hingga aku nyaris tak bisa berkonsentrasi pada apa pun yang kulakukan.

Mengapa tidak ada seorang pun yang bisa memahamiku?
Aku benar-benar butuh seseorang...

Sayup-sayup, telingaku menangkap suara dari ujung lorong. Dari arah Lab Biologi. Aneh, pikirku. Mestinya tak ada seorang pun di sana. Bulu kudukku bergidik. Namun entah sihir apa yang menghampiriku, alunan itu begitu memesona sehingga tanpa disadari aku sudah berada di depan Lab Biologi.

Sebuah lagu klasik yang rasanya begitu familiar liriknya, rasanya pernah kudengar di play list ayahku. Ih, lagu tua! Pilihan yang benar-benar tidak biasa, pikirku. Namun yang ini mengalun dengan kesan hangat saat sang pemilik suara bernyanyi dengan warna suara yang berat.  Lembut. Mirip Sam Smith, mungkin.

I sat on the roof and I kicked off the moss
Well some of the verses, well they’ve got me quite cross
But the sun’s been kind, while I wrote this song
It’s for people like you that keep it turned on

Gubraaakkk!!

Aku tidak ingat persis apa yang terjadi, namun aku tiba-tiba menemukan diriku terjerembab di lantai, di dalam Lab Biologi. Sepertinya aku mencoba melekatkan telingaku ke pintu, namun ternyata pintunya tak tertutup dengan rapat.

Sang pemilik suara berhenti bernyanyi. Aku tak berani mengangkat wajahku, alhasil aku hanya menatap sepasang sepatu converse hitam miliknya.

“Ma.. Ma.. Maafkan aku. Aku hanya kebetulan lewat dan mendengarmu bernyanyi. Eh, suaramu bagus. Lagunya...,” kataku terbata-bata kepada sepatu converse itu.

Aku segera bangkit dan berbalik. Aku bahkan tak sempat menatap wajahnya. Aku terlalu panik dan mengambil langkah seribu.

*****

Sepertinya minggu ini adalah minggu terberat sekaligus terburuk dalam hidupku. Mona dan teman-temanku yang lain semakin menyiksaku. Mereka tak mau makan siang di meja yang sama denganku. Mereka tak mau berbagi catatan pelajaran denganku. Mereka tak mau berbicara denganku sepanjang hari. Mereka mengucilkanku. Aku kini hanyalah gadis terasing yang tak punya teman. Seorang outcast.

Aku tahu dengan pasti penyebabnya. Aku resmi mengundurkan diri dari klub modern dance.
Aku masih menyukai tari, tetapi kursus balet setiap hari Minggu yang kutekuni sejak masih berumur 5 tahun sudah cukup memuaskan kecintaanku. Aku merasa tak perlu lagi bergabung dengan klub modern dance. Apalagi aku sadar betul ketika pertama kali bergabung dengan klub ini tahun lalu, aku hanya mengikuti Mona.

Dan aku juga sudah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi setelahnya. Ini adalah resiko yang harus kujalani setelah membuat pilihan. Tidak mengapa, terkadang kita memang harus membayar mahal atas apa yang sudah kita pilih dalam hidup.

Hanya ada satu hal yang membuatku semangat menjalani minggu ini di sekolah. Pagi tadi, aku menemukan selembar kertas post-it berwarna kuning yang sepertinya dijejalkan dengan paksa ke dalam lokerku.

Selamat pagi, gadis manis yang punya hobi mengintip.
Semoga hari ini menyenangkan.
Jangan terlalu banyak melamun saat makan siang. 
Aku tahu sendirian itu tidak enak.
Cobalah datang ke tempat pertama kali kita berjumpa.

Ah, pasti Sam Smith!

Aku tidak tahu namanya. Sempat melirik wajahnya pun tidak. Akan tetapi aku tahu ketika bernyanyi, suaranya begitu hangat menggoda. Jadi aku memanggilnya Sam Smith. Sam Smith bersepatu converse hitam.

Maka, di sinilah aku, kembali menyusuri lorong sekolah yang sunyi, tepat satu minggu setelah aku berjumpa dengannya. Aku tahu ini agak gila, tapi aku benar-benar penasaran dengan sosok lelaki bersuara indah itu. Atau mungkin, hati nuraniku berkata aku benar-benar membutuhkan seorang teman saat ini. Dan Sam Smith mungkin bisa menjadi temanku? Entahlah.

Aku sengaja pulang sore hari Jumat ini. Aku menawarkan diriku kepada Miss Debora, pustakawati sekolah, melabeli koleksi buku-buku terbaru sehingga aku bisa tetap di sekolah sampai sore. Dan kembali menyusuri lorong sunyi ini tepat pukul 17.30.

Samar-samar kulihat seberkas cahaya dari arah Lab Biologi. Kuberanikan diri membuka pintu kayu bercat cokelat tua itu. Sam Smith?

“Mencari siapa, Hera?”

Bukan Sam Smith! Itu Miss Lidya, guru Biologi.

“Eh, tidak, Miss. Saya kira ada orang lain di sini,” jawabku ragu.

“Dia menitipkan ini untukmu. Ambillah.”

Miss Lidya menyodorkan sebuah amplop cokelat besar. Tak ada tulisan apa pun di luarnya.

“Siapa, Miss?”

Aku merasa bingung, tetapi kuterima juga amplop misterius itu.

“Oh, dia anak yang minggu lalu kuhukum merapikan Lab Biologi karena telat mengumpulkan tugas lebih dari dua minggu.”

“Siapa, Miss?” kataku mengulang pertanyaanku barusan. Aku merasa konyol karena terlihat terlalu ingin tahu.

“Nanti juga kamu akan tahu,” kata Miss Lidya tersenyum simpul.

Aku tahu percuma bertanya lebih lanjut, jadi aku memohon diri pada Miss Lidya dan beranjak pergi meninggalkan Lab Biologi.

Aku pulang ke rumah secepat yang aku bisa. Kulempar tas ransel ke atas tempat tidurku, mengenai Mr. Puff, kucing kesayanganku, yang segera melompat karena kaget, dan duduk selonjor di atas karpet, bersandar pada tempat tidur. Hanya dalam hitungan detik, sebuah flash disk meluncur keluar dari amplop coklat yang kurobek sampulnya. Ada sebuah kertas post-it kuning menempel pada flash disk itu.

Jangan pernah merasa sendirian, gadis pengintip.
Hera, bukan? Dewi langit.
Semestinya kamu berjalan selayaknya penguasa matahari dan rembulan.
Tersenyumlah, dan jalani saja apa yang kamu yakini.
Kita akan berjumpa lagi nanti saat kamu sudah lebih ceria dari hari ini.

Kucolokkan flash disk itu ke notebookku. Rupanya sebuah file audio. Suara Sam Smith bersepatu converse hitam melantunkan lagu klasik familiar yang kudengar pada senja minggu lalu, kini kudengarkan kembali saat matahari mulai menyemburkan semburat jingga di langit, hendak kembali ke peraduan.

So excuse me forgetting, but these things I do
You see I’ve forgotten if they’re green or they’re blue
Anyway the thing is what I really mean
Yours are the sweetest eyes I’ve ever seen

Aku pun terbuai dalam alunan lembut suaranya hingga terlelap di lantai kamarku yang nyaman.

*****

Aku kembali menjalani minggu yang berat. Sangat berat, hingga kepalaku benar-benar penat dan sebentar lagi bakal meledak. Stress. Lelah. Muak!

Bahkan buaian suara Sam Smith bersepatu converse hitam yang sudah kumasukkan ke dalam play list ponselku, dan kudengarkan setiap saat, tak cukup menghiburku. Mona sudah benar-benar keterlaluan!

Senin, ia kembali mengucilkanku. Selasa, ia berkata kepada Kak Joy kalau aku menjelek-jelekkan klub modern dance. Tak mudah meyakinkan Kak Joy bahwa aku tidak pernah melakukannya. Untung Kak Joy mempercayaiku pada akhirnya.

Rabu, Mona menghancurkan kertas berisi essay yang akan kukumpulkan untuk klub menulis. Kamis, ia menulis di sosial media, jika ada seorang pengkhianat di dalam kelompoknya. Dan pengkhianat itu – meski tak ia sebutkan namanya – tentu saja adalah aku.

Akan tetapi, penghujung minggu ini adalah puncaknya. Saat berjalan menuju lokerku sepulang sekolah, aku disambut oleh kerumunan orang. Sebagian menatap lokerku seolah sedang mengamati mahakarya Monalisa, sementara sebagian lain menoleh ke arahku yang baru saja tiba dan pasti terlihat kebingungan.

Aku mendesak kerumunan orang dan berdiri tepat di depan pintu lokerku yang kini sudah penuh dengan coretan yang aku kenal betul pemiliknya.

Enyah kau, pengkhianat bangsat!

Entah berapa detik atau bahkan menit aku hanya berdiri mematung menatap tulisan yang diukir menggunakan cat berwarna merah itu. Pikiranku disesaki berbagai hal buruk yang membuat hatiku sakit. Pengkhianat. Bangsat. Aku adalah seorang pengkhianat bangsat!

“Kehabisan kata-kata, Hera?”

Tiba-tiba suara Mona terdengar dari belakangku. Kelompok orang yang sedari tadi berkerumun, secara otomatis menyingkir. Namun mereka belum sepenuhnya pergi karena pasti penasaran dengan apa yang akan Mona lakukan terhadapku.

“Ada apa? Lidah kamu tak bisa berbicara? Apa kamu mendadak menjadi bisu?” kata Mona. Kali ini dengan nada yang kasar.

“Mona...”

“Apa? Mau bertindak sebagai korban yang patut dikasihani di hadapan semua orang ini?” Mona menunjuk orang-orang di sekeliling kami.

“Mengapa kamu tidak mau membiarkanku sendiri? Aku tidak pernah mengganggumu,” kataku akhirnya. Aku berusaha keras menahan tangis karena aku tak ingin dipandang lemah. Tidak, jika aku tidak punya kesalahan sama sekali.

“Kamu pengkhianat, Hera. Kamu mengkhianati aku. Kita berjanji selalu bersama. Dan lihatlah sekarang apa yang terjadi.”

“Aku hanya keluar dari klub modern dance. Aku tidak berniat menjauhimu. Coba pahami keinginanku.”

“Kamu pergi. Itu saja sudah cukup bagiku untuk melihat bahwa kamu adalah pengkhianat.”

“Jangan begitu, Mona...”

“Diam! Kamu tak berhak bicara. Pengkhianat tak berhak membela diri. Kamu adalah sampah. Aku akan membencimu mulai sekarang.”

“Tidak!” kataku setengah berteriak.

“Apa yang baru saja kamu bilang?” Mona menantangku seolah aku baru saja mengatakan hal penuh dosa.

“Tidak, Mona. Sudah cukup. Silakan kamu membenci sepuasmu, tapi aku tidak akan mengalah. Aku tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Aku sudah cukup bersabar menghadapimu selama ini.”

“Sabar? Kamu mengkhianatiku, Hera. Aku yang sakit hati. Kamu tega!”

“Tidak, Mona. Kamu yang membenciku. Kamu menghabiskan seluruh energi untuk membenciku sejak bulan lalu. Apa kamu tidak lelah?”

“Itu semua karena kamu mengkhianatiku...”

“Aku tidak pernah...”

“Diam!!!!!!”

Mona mendorongku cukup keras hingga punggungku menabrak loker dan terjatuh, lalu ia pergi meninggalkanku begitu saja.

Baru kali ini aku melihat Mona menatapku penuh kebencian, seolah ada nyala api di dalam matanya. Aku tahu dengan pasti, kami tak akan pernah berteman lagi setelah ini.

*****

Lorong sekolah seketika menjadi sunyi.

Aku sendirian, masih dalam posisiku terduduk di lantai, di depan loker. Tak ada satu jiwa pun yang menghampiriku. Semua kelihatan enggan, mungkin tak ada yang ingin membantu seorang outcast. Mereka hanya berlalu sampai akhirnya tak ada lagi orang yang berjalan di lorong.

Kemudian aku mulai menangis. Air mata mengalir membasahi pipiku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis, namun aku merasa teramat lelah. Bahkan ragaku tak sanggup lagi menghadapi semua ini. Menangis adalah pelarian yang paling mudah.

“Jangan menangis, Hera.”

Aku mendengar suara lelaki memanggilku. Samar-samar. Aku mengangkat wajahku dan melihatnya berdiri di hadapanku. Pandanganku masih buram terhalang air mata, jadi aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Sepertinya bukan seseorang yang kukenal.

Lekai itu cukup tinggi, rambutnya berwarna hitam gelap, dan kulitnya memiliki kesan cokelat terbakar matahari. Ia mengenakan seragam sekolah berbalut jaket jeans biru. Dan sepatunya... converse berwarna hitam.

Sam Smith bersepatu converse hitam!

“Jangan menangis, gadis pengintip,” katanya sambil berjongkok di hadapanku. “Kamu lebih manis jika tersenyum.”

 “Kamu yang waktu itu...” kataku masih terisak. Kuhapus air mata yang masih tersisa.

Ia mengulurkan tangannya untuk menarikku berdiri. Kemudian ia menatap mataku lekat-lekat. Tatapan matanya rupanya selembut dan sehangat suaranya ketika bernyanyi. Seketika, aku merasa aman.

“Kamu pasti ingat aku,” ucapnya sambil tersenyum.

“Lagumu...”

“Bukan, ini adalah lagumu. Hanya untukmu,” ucapnya.

Ia kemudian menyenandungkan lagu klasik familiar yang kudengar selama dua senja.

And you can tell everybody this is your song
It may be quite simple but now that it’s done
I hope you don’t mind
I hope you don’t mind, that I put down in words
How wonderful life is now you’re in the world



***

Tentang Penulis
Anitya Wahdini, lahir di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1983. Menjadi seorang ibu, sebelum menjadi seorang guru. Menyayangi murid-muridnya seolah mereka itu teman, sahabat, partner, dan anak-anaknya sendiri. Memiliki obsesi tersendiri pada warna pink dan serial Glee. Ingin jadi aktris Broadway seperti Lea Michele di kehidupannya yang lain. Selalu berkhayal!

No comments:

Post a Comment