Thursday, March 05, 2015

Thank God I Have Parents, Not Sharents

Warning: Postingan ini berpotensi nyinyir.

Layaknya orang-orang yang berusia hampir 20 tahun, gue lengket sama internet. Ada dua kondisi di mana gue sering terlihat: dengan henpon di tangan atau laptop di pangkuan. Gue juga lumayan aktif di media sosial. Gue punya akun Twitter, Facebook, Path, Instagram, ask.fm, dan tentunya blog. Ketika gue nggak posting apapun di media sosial, gue jelalatan aja ngeliatin timeline. Di media sosial ada salah satu fenomena yang udah narik perhatian gue setahunan lebih. Fenomena sharenting.

Jadi sharent itu apa sih? Kata Wikipedia, sharent itu portmanteau (penggabungan kata) share dan parent. Jujur, istilah ini baru-baru ini aja gue temuin. Sebelumnya gue nggak pernah tau apa nama 'bener'-nya. Oke, kembali ke arti sharent. Share artinya berbagi, parent artinya orangtua. Berbagi yang dimaksud di sini adalah berbagi informasi tentang anak di media sosial. So, sharent adalah sebutan buat orangtua yang demen sebar informasi soal anaknya di media sosial - foto-foto di Facebook/Instagram/Path, postingan di blog, anekdot di Twitter, dan lain-lain.
Picture from State of Digital
Tentunya kita nggak asing dong sama hal ini. Berapa kali kita liat foto-foto bayi atau balita nongol di timeline Facebook atau Instagram? Atau cerita-cerita yang (harusnya dianggap) lucu soal anak kecil yang dipost orangtua mereka di Path? Sering kan? Yang sering begitu memang kebanyakan orangtua muda - terutama ibu-ibu muda, karena...yaaa, emang orang umur segitu yang rajin main media sosial. Coba buat orangtua-orangtua yang anaknya udah seumuran gue, jarang banget kan yang begitu?

Banyak bener hal-hal soal anak yang bisa diposting orangtua mereka di media sosial. Mulai dari foto USG (kalau anaknya masih di dalem perut), foto hari pertama sekolah (plus acara jemput anak sekolah - iya, sekarang jemput anak sekolah masuk hitungan 'acara'!), obrolan-obrolan bareng anak yang kadang nggak nggenah (namanya juga anak kecil!) tapi menghibur, acara playdate atau sekedar makan-makan cantik, kegiatan rekreasi sehari-hari, dan lain-lain. Separah apa? Gini deh, gue sampai tau nama lengkap sekolah-sekolah tempat anak-anak yang sering muncul di timeline gue. Gue tau kalau mereka potong rambut. Gue tau apa yang guru-guru sekolah mereka bilang soal mereka. Gue tau bekel makan siang mereka. Heck, gue tau gimana mereka disapih! Dan ini semua bukan fiksi loh.

Sharenting juga jadi salah satu fenomena yang jadi topik penelitian hangat. Kalau lo ketik 'sharenting' di Google, banyak artikel tentang itu yang ngutip pendapat-pendapat para ahli. Psikolog, pakar komunikasi, dan semacamnya. Hampir semuanya nunjukin kekhawatiran. Kekhawatiran akan keamanan si anak karena adanya potensi orang-orang jahat yang bisa manfaatin informasi soal anak untuk hal-hal nggak bener, kekhawatiran akan privasi si anak karena sejak kecil mereka udah 'dibeberin' ke dunia maya, dan lain-lain. Kalau diliat-liat, memang ada benernya sih.

Ada satu blog yang khusus ngangkat tema oversharenting ini, judulnya STFU, Parents. Ngerti ndiri lah ya STFU itu kepanjangannya apa. Needless to say, itu salah satu blog yang paling sering gue baca. Penulisnya, Blair Koenig, udah sering diwawancara sana-sini karena blognya emang petjah banget - dan udah diangkat jadi buku, yang pengen banget gue beli tapi sampai sekarang masih masuk tahapan pilah-pilah harga di eBay atau Amazon. Blair ngisi blognya dengan screenshot sharents yang posting hal-hal yang udah masuk kategori annoying dan keterlaluan soal anak mereka - screenshot-nya dikirim orang-orang yang risih sama kelakuan sharents itu. Reaksi terhadap blognya? Banyak yang kesel, tapi yang setuju juga banyak. Buktinya si Blair ini hampir nggak pernah kehabisan kiriman screenshot - biasanya dari Facebook.

Singkat kata, udah cukup banyak kontroversi soal sharenting ini. Yang pro berargumen bahwa mereka punya hak penuh untuk mengabadikan momen-momen penting dalam hidup anak (from the very start!) dan berbagi momen tersebut di dunia maya. Yang kontra bilang hal-hal kayak gitu merampas privasi anak dan bakal ada dampak negatif buat si anak di masa depan. Coba cari salah satu artikel soal sharenting dan liat bagian komen. Serius deh, it really is the best part. Begitu banyak argumen dikeluarkan, mulai dari yang halus dan reasonable sampai yang superkasar. Emang menarik sih liat gimana orangtua mem-present anaknya di internet dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang semua pergerakan anaknya diposting SETIAP hari, ada yang mati-matian berusaha biar exposure anaknya di internet bener-bener minim - mulai dari nyebut nama anak cuma pakai inisial sampai nyensor muka anak di foto. Untuk kontroversi soal sharenting ini nggak akan gue bahas banyak, udah cukup banyak kok yang ngebahas panjang-panjang.

Udah panjang-panjang, terus maksudnya judul postingan ini apa? Akhir-akhir ini gue sering (banget) mikir, "Thank God I have parents instead of sharents!" Alhamdulillah orangtua gue bukan sharents! Dari perkara jaman aja udah jelas sih - gue lahir tahun 1990-an. Boro-boro media sosial, jaman segitu nyokap gue masih terima jadwal kerja lewat pager! Meskipun begitu juga orangtua gue bukan tipe-tipe orang yang hobi ngecek Facebook, curhat lewat status BBM, dan sejenisnya sih. Mereka pasang foto WhatsApp atau BBM aja bisa tahan berbulan-bulan. Statusnya? Paling 'available', doa-doa, atau disesuaikan sama kalender (ucapan selamat Lebaran, selamat tahun baru, dll.). Posting foto gue aja hampir nggak pernah, kecuali pas kebetulan lagi bareng, guenya wisuda, atau guenya ultah. Kalau gue sakit, orang taunya ya pas liat gue sakit atau pas emang diceritain - secara personal. Tiap kali gue mudik ke Indonesia pun nggak semerta-merta temen-temen kuliah bokap atau temen-temen kerja nyokap langsung pada tau kalau gue lagi mudik. That is to say, ketika gue lihat postingan para sharents, otomatis gue bandingin mereka ke orangtua gue sendiri.

Ketika mereka posting foto anaknya yang masih balita lagi manjat-manjat dan berpotensi jatuh dengan caption, "Ya ampun, si A ini ada aja kelakuannya sampai manjat-manjat!" atau foto anaknya mainan kantong plastik di kepala yang menurut akal sehat dan buku panduan menjadi orangtua manapun jelas-jelas bahaya dengan caption yang dilucu-lucuin, gue menghela napas lega karena pas gue kecil dan ngelakuin hal-hal nggak nggenah macam begitu nyokap gue langsung nolongin dan kadang-kadang langsung ngomelin instead of nunggu dulu beberapa detik untuk nyiapin henpon dan jepret foto buat diposting.

Ketika mereka cerita pujian-pujian buat anaknya dari guru di sekolah, gue menghela napas lega karena apapun yang guru gue bilang di sekolah mentok di sekolah dan di rumah gue. Mau dipuji selangit pun, bokap gue nggak akan serta merta cerita ke orang di luar rumah dengan kedok humblebrag.

Ketika mereka foto-foto bekel sekolah anak mereka yang fancy, gue menghela napas lega karena jaman dulu nggak ada hal yang lebih indah daripada nunjukin bekel hanya ke temen sekelas dilanjutkan dengan tuker-tuker makanan, dan karena orangtua gue nggak pernah haus sanjungan sebagai 'orangtua kreatif'.

Ketika mereka tulis panjang-panjang tentang betapa bersyukurnya mereka karena bisa jadi ibu rumah tangga yang menurut mereka bisa lebih perhatian ke anak-anaknya dan bisa tiap hari jemput anak di sekolah sambil update lokasi sekolah anaknya di Path, gue menghela napas lega karena gue tau walaupun nyokap gue bukan ibu rumah tangga tapi beliau nggak pernah mengabaikan keselamatan dan pendidikan gue, dan dari pekerjaannya beliau punya banyak pengalaman langka dan berharga dari berbagai tempat yang bisa jadi motivasi buat gue sebagai cewek. Oh ya, kerjaan nyokap gue super demanding dan beliau sering nggak di rumah, tapi ketika di rumah beliau biasanya masak, ngajak gue jalan-jalan, bacain buku cerita, bantu gue ngerjain PR, atau nonton TV bareng - 100% ngelakuin tanpa ada waktu buat pamer quality time kita. Diusahakan jemput gue sekolah - pernah loh beliau jemput gue sekolah saking buru-burunya sampai nongol di sekolah dalam keadaan masih pake seragam kerja lengkap yang mencolok banget - dan yang tau cukup gue, guru-guru, dan temen-temen sekolah gue. Lebih lanjut harus dibahas di postingan khusus nih.

Ketika mereka taruh foto-foto anak mereka lagi mandi dalam kondisi telanjang bulet di Facebook atau Path (dengan stiker-stiker kiyut untuk nyensor alat kelamin), gue menghela napas lega karena semua foto begituan gue cuma ada di album keluarga dan nothing more. Tambah lega karena orangtua gue nyimpen album keluarga di tempat yang jarang diliat orang lain. Alhamdulillah, sejak tahun 1995 sampai sekarang (!!!) nggak ada foto telanjang gue yang nongol di internet.

Ketika mereka pasang foto-foto anak mereka di Instagram dengan caption spesial tiap kali anaknya ulang bulan (ada nggak sih sebenernya istilah ini?), gue menghela napas lega karena topik ulang bulan gue dulu cuma muncul kalau ada yang nanya ke orangtua gue, "Anaknya umur berapa bulan?" Lack of such celebration juga bikin ulang tahun gue waktu kecil bener-bener sesuatu. Di album keluarga, foto gue sehari-hari sama foto gue ulang tahun nyolok banget deh bedanya. Dan dulu kalau ada keluarga yang udah lama nggak ketemu, pasti keluar aja kata-kata, "Ya ampun, udah gede banget ya!" Sekarang? Lama nggak ketemu pun ketika ketemu...oke, ketemu dan what next?

Ketika mereka pajang foto-foto anak mereka lagi nangis dengan caption semacam, "Si A yang nangis karena blablabla...", gue menghela napas lega karena dulu ketika gue nangis bokap gue akan langsung bertindak sesuai keadaan - kalau gue nangis karena lagi rewel beliau akan gendong gue sambil berusaha nenangin, kalau gue nangis karena gue bandel beliau akan coba mbilangin gue. Nggak ada air mata yang kebuang cuma biar bisa kejepret di kamera dan disebar ke banyak orang.

Ketika mereka posting foto-foto anak mereka dengan posisi yang diatur sedemikian rupa sambil mikir, "Ah, pasti banyak yang nge-like!" dan expect orang untuk nge-like karena konon di jaman ini nge-like foto bayi atau balita hukumnya fardhu 'ain, gue menghela napas lega karena orangtua gue nggak pernah, dalam bentuk apapun, memaksa orang lain untuk bilang betapa gue lucu, pinter, atau semacamnya atau memperlakukan pujian buat gue sebagai benda wajib. Admit it, when a great amount of 'likes' on pictures of your kids is something you expect to see every time, compliments for your kids become a normal expectation, eh? Kalaupun ada hal yang membanggakan keluar, ya paling informasi buat keluarga terdekat - terutama kakek dan nenek yang selalu mau denger hal-hal asik soal cucu. Di luar itu, kalau ada hal-hal yang agak 'wah' mereka selalu bilang as a matter of fact DAN hanya kalau ditanya. Temen-temen bokap gue tau gue kuliah di Australia ya karena tiap kali gue mudik ke Indonesia bokap gue selalu menyesuaikan jadwal kerja beliau biar bisa nemenin gue. Temen-temen nyokap gue tau gue kuliah di Australia ya karena kalau mereka kebetulan lagi ke Perth lumayan sering gue ajak ketemuan, ngobrol-ngobrol dan silaturahmi aja.

I did not live my childhood through photo filters, emojis, or sugarcoated captions, and I was always ensured that no one would mess with my privacy through my parents' activities. My childhood was nothing Instagrammable; I was raised with flaws and my parents did not pretend that our life was oh-so-perfect and worth boasting, but those flaws have proven to have some positive impact on me as an adult because from an early age I have always been taught modesty, humility, and how to maintain privacy.

Panjang ya? Cukup nyinyir kah? Jujur, gue udah setahun lebih pengen posting tentang ini tapi gue tahan-tahan karena gue khawatir akan ada yang tersinggung (gue yakin ada, yakin banget). But I finally gave in. Gue nggak bisa nyegah orang biar nggak tersinggung, gue cuma bisa negasin bahwa ini bener-bener opini gue aja. Who am I to tell people how to treat their kids? Punya anak aja gue nggak! Dan gue nggak bermaksud bilang kalau cuma orangtua gue orangtua yang oke kok. Hanya menyampaikan betapa gue menghargai pertimbangan dan keputusan orangtua gue yang ternyata memang dampaknya positif. Mau gimana juga orangtua punya pertimbangan dan keputusan masing-masing dengan berbagai resiko kan? Dan salah satu resikonya adalah jadi topik postingan blog. Begitulah.

Akhir kata, ini loh nyokap dan bokap gue yang cuek media sosial itu.
Nah, kira-kira berapa banyak ya yang nge-like?

2 comments:

  1. Alhamdulillah aku punya orang tua yg ga demen social media

    Syukur mereka gatau kelakuan anaknya di medsos kayak apa #plak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha! Iya juga sih :-D orangtuaku dua-duanya punya pesbuk (walaupun ndak aktif), tapi udah sepakat nggak mau berteman sama anaknya :-p

      Delete