Thursday, February 26, 2015

Rasa

“Aku takkan mati.”
Kata-kata itu terus terngiang di benak Roy, meskipun tiga minggu telah berlalu. Ia masih hafal betul getaran setiap suku kata. Menusuk setiap jengkal pori-pori kulitnya seperti angin musim dingin. Roy bukan pria penakut. Ia telah menghadapi berbagai ancaman, ujian, dan pertempuran. Tak satu pun dapat melumpuhkannya. Tetapi tiga kata itu terus mengangkat bulu romanya. Roy memejamkan mata, tapi cepat-cepat ia membukanya lagi. Dalam gelap, kata-kata itu menggema dan terdengar makin keras. Fungsi otak dan telinganya jauh meningkat ketika matanya terpejam. Roy membenamkan kepalanya di tangannya yang kasar, dan telapak tangannya menyentuh rambut pirangnya yang basah penuh keringat.
Suara yang sama pernah menjadi suara paling indah yang pernah Roy dengarkan. Ia masih ingat, ada masa-masa di mana ia rela melakukan apapun untuk mendengar suara itu. Jane, nama terindah yang Roy tahu. Ada masa-masa di mana ia akan mengucapkan nama itu berkali-kali, merasakan cinta dan keindahan yang luar biasa dalam setiap pengucapan. Jane. Roy tak pernah bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya. Baginya, Jane adalah perpaduan sempurna hal-hal paling indah sekaligus rumit dan menantang dalam hidupnya. Jane. Oh, Jane...
“Aku takkan mati.”
Tiga minggu, pikir Roy. Dari semua hal yang bisa melekat, mengapa itu? Roy tak ingin membayangkan jawabannya. Hampir setiap detik yang ia lalui sejak sebulan lalu penuh terisi suara tersebut. Roy menghela nafas panjang. Sekuat tenaga ia kumpulkan. Lidahnya bergetar. “Jane,” ucapnya lirih.
***
Di minggu pertama, Roy hanya bisa duduk di pinggir kamarnya tanpa busana. Sehelai kain pun membuat kulitnya terasa perih. Bahkan setetes air terlalu menyakitkan untuknya. Segala yang ia sentuh mengingatkannya akan kulit pualam Jane. Sentuhannya yang lembut, namun membakar seluruh sel-sel tubuh siapapun yang menyentuhnya. Jane, yang selalu menaklukkan Roy dengan telapak tangannya yang halus. Roy masih ingat betul pertama kali ia memegang tangan Jane. Tangan yang dingin, namun Roy merasa sekujur tubuhnya terbakar. Belum pernah sebelumnya ia merasakan gejolak sekuat itu. Gejolak perkasa yang terbawa oleh  tangan yang mungil.
Ada masa-masa di mana Roy merasa dirinya beruntung karena bisa menikmati sentuhan Jane lebih dari siapapun. Ia hafal sensasi dari seluruh bagian tubuh Jane seperti seorang intelektual yang hafal berbagai teori ilmu pengetahuan. Roy tak pernah melupakan malam-malam yang dingin yang ia lewatkan sambil menghangatkan diri dalam dekapan Jane. Roy masih ingat sentuhan jari-jarinya yang kasar di tiap helai rambut hitam Jane yang seperti sutera. Tiap helai rambut Jane adalah harta bagi tangan Roy. Roy masih bisa merasakan getaran Jane di bibirnya. Saat ini rasanya menyakitkan, tetapi ada masa-masa di mana bibir Roy memperlakukan seluruh bagian dari Jane seperti berlian langka. Mulai dari bibirnya yang tajam, turun ke lehernya yang terbentuk sempurna, terus menelusuri setiap jengkal, hingga keduanya berpadu dalam kenikmatan di tengah keheningan malam. “Jane,” ucap Roy saat itu, seperti doa.
Sejak minggu lalu, semua itu perlahan mengoyak Roy. Ia yakin, jika semua yang ia rasakan kini nyata ia bisa melihat bercak-bercak darah di sekujur tubuhnya.
***
Di minggu kedua, Roy menjaga agar semua jendela di sekitarnya tertutup. Tiupan angin telah menjadi musuh barunya. Hembusan udara seakan-akan membawa semua aroma yang sudah dua minggu ini ia hindari. Aroma...ia tak pernah bisa menggambarkan dalam kata-kata. Wangi yang kuat, menggiurkan, tapi juga memabukkan. Wangi itu pernah menjadi candu baginya. Menghajar hidungnya setiap malam, dan banyak yang iri pada Roy karenanya. Ada masa-masa di mana ia sungguh beruntung, dan sungguh tergila-gila dengan aroma di sekujur tubuh Jane.
Roy pernah tak bisa melewati satu hari tanpa menghirup aroma yang mengelilingi Jane. Baginya, sensasi leher sempurna Jane di bawah lubang hidungnya seperti asap mariyuana. Nikmat dan memabukkan. Sudah berkali-kali Roy terbawa melayang ke sebuah dunia asing, hanya dengan menghela nafas di dekat Jane. Ada masa-masa di mana Roy akan mendekatkan wajahnya ke rambut Jane, hanya untuk menambah sensasi memabukkan yang menjadi santapan pokoknya. Jane, yang ia yakini tidak memiliki aroma dunia. Udara yang berhembus ketika ia muncul terlalu kuat, terlalu lembut untuk jadi aroma sehari-hari. Dalam setiap helaan nafas, Roy akan memejamkan mata, menyerap seluruh keindahan yang ditimbulkan aroma dari Jane ke dalam memorinya. Memori itu yang akan menemani Roy di pagi hari, sampai malam berikutnya ketika Jane kembali ke dekapannya. “Jane,” bisik Roy dalam kekaguman.
Kini Roy hanya bisa berharap ia dapat menghapus memorinya. Bahkan dengan jendela tertutup Roy masih dapat merasakannya. Udara yang pernah jadi candu baginya kini hanya membuatnya kesulitan bernafas sejak empat belas hari yang lalu.
***
Empat belas hari yang lalu, Roy menemui wanita yang pernah menjadi candu baginya untuk kesekian kalinya. Sekujur tubuhnya bergetar. Udara saat itu dingin, tetapi hati Roy membara. Ia nyaris lumpuh, tetapi semua ini bukan hal baru baginya. Jane, di hadapannya, selalu menimbulkan efek yang luar biasa bagi Roy. Namun kali ini berbeda. Sebelumnya, keberadaan Jane di dekatnya selalu membuat Roy tersenyum lebar. Kali ini matanya berkaca-kaca. Namun ia berusaha melawan air matanya. Roy menegakkan kepalanya, dan menatap langsung wanita di hadapannya.
Roy melangkah maju. Satu, dua, tiga... Ia merasa konyol menghitung langkah kakinya sendiri, namun ia tak bisa menghindarinya. Roy terus melangkah sampai nyaris tak ada jarak yang memisahkan dirinya dengan Jane. Roy menundukkan kepalanya, menyentuhkan keningnya dengan kening Jane. Sensasinya masih sama. Dingin dan membakar di saat yang bersamaan. Air mata yang sudah lama menggenang di pelupuk mata Roy akhirnya jatuh. Suara air mata yang menetes di lantai terdengar lantang di telinga Roy. Roy menatap mata gelap Jane dalam-dalam. Sepasang mata yang pernah menjadi pemandangan favoritnya, dengan tatapan menerawang yang pernah membuatnya tergila-gila.
Roy merasakan kepala Jane bergerak sedikit. Ia berusaha tetap tegak, walaupun jantungnya berdegup makin kencang ketika ia rasakan Jane menengok ke bawah, ke arah tangan kanan Roy yang bergetar. Jane terhentak. Cepat-cepat ia mengembalikan pandangan ke arah mata Roy yang kini suram dan basah. Jane melangkah mundur, dan dengan sekuat tenaga Roy memaksakan kaki-kakinya yang nyaris lumpuh untuk maju mengikuti Jane hingga mereka terhalau dinding.
“Roy...” ucap Jane lirih. Roy berusaha melawan emosi yang bertabrakan di dalam dirinya. Ia terus maju, menekan tubuh mungil Jane melawan dinding. “Tidak...”
Roy ingin menuruti kata-kata Jane, seperti yang ia lakukan selama ini. Tapi kali ini ia tidak bisa. Ia harus melawannya. Tangan kiri Roy yang besar mencengkeram erat-erat bahu kurus Jane, yang terkejut karena ia telah terbiasa dengan sentuhan lembut penuh kekaguman dari tangan itu. Jane berusaha lari, namun tangan Roy terlalu kuat dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Roy menatap wajah sempurna di bawahnya. Ia tak percaya ada masa-masa di mana ia begitu mengagumi wajah yang sama. Air mata Roy kembali tumpah, kali ini tetesannya mendarat di pipi Jane. Tempat bibir Roy dulu terbiasa memuaskan hasrat terdalamnya.
Tangan kanan Roy terayun ke tubuh Jane. Jane hendak berteriak, tetapi sebelum ia sempat bersuara tangan kanan Roy berhadapan langsung dengan perutnya. Roy memejamkan mata—ia sudah tak sanggup lagi. Tubuhnya bertambah panas. Sekilas ia membuka mata, dan nyaris semua di bawahnya telah berubah warna. Merah terang.
Jane merintih. Air mata Roy terus jatuh, dan kini ia berharap ada sesuatu yang bisa menutup telinganya. Tangan kirinya terus menahan tubuh Jane, dan tangan kanannya kembali berhadapan dengan perut di bawahnya. Rintihan Jane kali ini sama sekali tidak terdengar seperti suara malaikat yang Roy kenal. Roy kembali membuka matanya sekilas. Kali ini bahkan tubuhnya sendiri penuh percikan merah terang. Setelah matanya kembali terpejam, Roy kembali mengayunkan tangannya hingga berhadapan dengan perut Jane. Mencabik-cabik dua nyawa yang kini mulai perlahan, tapi pasti memudar.
Roy menjauh sedikit. Ia melihat mata Jane menerawang jauh—lebih daripada yang selama ini Roy tahu. Jane mengarahkan matanya ke langit-langit, kemudian pindah ke wajah Roy. Kali ini Roy tak bisa memejamkan mata. Semuanya begitu nyata. Roy merasakan hatinya terbakar habis melihat air mata mengalir dari mata Jane. Sepasang mata yang dulu membawanya ke berbagai dunia asing kini nyaris kosong, hanya sisa-sisa derita yang masih mengapung.
“Roy...” kembali Jane bergumam. Suaranya nyaris padam, tapi Roy masih dapat mendengarnya dengan jelas. Roy membuka mulutnya. Ia tak tahu harus berkata apa—ia bahkan tak tahu mengapa mulutnya terbuka, dan lidahnya gemetar hebat. Nafasnya terengah-engah.
“Jane,” Roy akhirnya angkat suara. Suaranya lemah—nyaris menandingi lemahnya suara yang sebelumnya memanggil namanya. Tangan kiri Roy melepaskan bahu Jane, dan mengusap pipinya. Berusaha mengulang sentuhan-sentuhan mesra yang dulu menjadi bagian dari mereka. “Oh, Jane...”
“Aku takkan mati...” suara Jane terdengar lagi. Kali ini jauh lebih kuat daripada sebelumnya, dan jauh lebih tajam daripada apa yang telah menghancurkannya. Roy membuka matanya lebar-lebar. Air matanya makin deras, dan tangan kanannya langsung menghantam leher sempurna yang dulu memabukkannya, warna merah merekah melawan warna kulit yang pucat.
***
Di minggu ketiga, Roy makin tak mengenali dirinya sendiri. Semua sentuhan yang ia rasakan, semua elemen udara yang ia hirup, semua suara yang ia dengar perlahan menghancurkannya. Roy membayangkan, jika semua itu nyata, dirinya terbaring tanpa kekuatan, dengan darah mengalir dari sekujur tubuhnya. Mungkin malah akan jauh lebih baik, pikirnya. Sudah tak terhitung berapa kali Roy hampir mencabut nyawanya sendiri. Ujung belati di lehernya, sudah begitu dekat dan tak pernah menyayat.
Roy takut. Takut dengan apa? Ia sendiri tak tahu jawabannya. Ia hanya yakin, betul-betul yakin, bahwa apapun yang menantinya di sana akan menimbulkan rasa sakit yang jauh lebih hebat. Tuhan? Neraka? Roy menggeleng-gelengkan kepalanya. Dua kata itu sudah lama ia buang jauh-jauh dari benaknya. Tiga minggu sudah Roy tidak memikirkannya lagi, hingga sekarang.
Roy membenamkan kepalanya di tangannya. Dulu tangannya sekedar kasar, namun kini tangannya berlumuran darah. Darah yang sudah tiga minggu memudar, tetapi masih bisa ia rasakan. Setiap kali Roy melihat tangan kanannya, warna merah terang merekah di jari-jarinya. Tangan kirinya mencengkeram rambutnya erat-erat, seperti cengkeramannya tiga minggu yang lalu. Nafas Roy beradu cepat. Inikah? Inikah rasanya di ambang kematian—walaupun tidak secara harfiah? Inikah yang dia rasakan tiga minggu yang lalu?
Roy mengangkat kepalanya, dan tepat di depan matanya pemandangan yang ia saksikan tepat tiga minggu yang lalu. Pemandangan yang sebelum hari itu begitu ia gilai dan pada hari itu berusaha ia hindari. Kali ini, pemandangan itu membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar belum mati.
Sosok di depannya terus mendekat. Refleks, Roy berdiri, walaupun ia tahu ia tidak akan bisa menghindar. Jantungnya berdegup makin kencang, seperti tiga minggu yang lalu, dan nafasnya makin tidak beraturan. Roy bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Seperti hari itu, semuanya begitu nyata.
Dia maju. Roy melangkah mundur—apa yang terjadi hari itu sedang dimainkan dalam posisi mundur. Roy makin yakin dirinya tak akan bisa menghindar. Dia mendekat, dan kali ini Roy bisa merasakan hembusan nafasnya. Dingin. Roy merasa seluruh tubuhnya nyaris membeku. Dingin, dan—Roy menelan ludah—mematikan.
Roy terus mundur, sampai ia merasakan ada yang menghalanginya di belakang. Bukan dinding seperti yang dia hadapi di hari itu, tetapi udara kosong. Jendela yang selama ini ia tutup terbuka lebar. Roy tahu persis apa yang menantinya sekarang, tapi ia masih tak mau percaya, walaupun semuanya terpampang nyata.
“Jane,” bisik Roy. Di hari itu suaranya penuh iba dan rasa takut, tapi kali ini hanya ada rasa takut yang kuat. Di depan matanya yang membelalak, sepasang mata yang dulu membuatnya tergila-gila dan nyaris membuatnya sungguh gila tiga minggu yang lalu menerawang langsung ke arah dirinya. Roy tahu mata itu tajam, tapi apa yang ia hadapi kali ini melebihi apa yang selama ini ia ketahui. Ia kembali membuka mulut, mengingat nama yang pernah ia kagumi dan kemudian ia hancurkan. “Jane...”
Dia makin mendekat. Kaki Roy sudah tak bisa bergerak lagi, namun ia tetap tertarik mundur. Seketika, sekelilingnya berputar begitu cepat. Kembali ia terbawa ke sebuah dunia asing—dunia yang paling ia hindari, yang paling ia benci. Roy merasakan dirinya hancur perlahan. Tangan kanannya kembali berwarna merah terang. Roy menerawang, berusaha menarik nafas di tengah-tengah genangan darah. Dia masih di sana. Wajah sempurnanya memandang tajam Roy. Tak ada keraguan. Tak ada ketakutan. Satu wajah pualam terpampang tanpa ekspresi berarti,
“Aku takkan mati.”
Dalam gelap, Roy tak mendengar apa-apa lagi setelahnya.

Perth, WA, Australia
February 24, 2015

No comments:

Post a Comment