Wednesday, August 27, 2014

Kenapa The Corrs?

Yeah, akhirnya gue nulis lagi setelah (sok) hiatus cukup lama. Well, 'hiatus' would be an exaggeration. Sebenernya cuma agak hilang motivasi untuk serius nulis sih, itu aja. Mungkin karena gue kebanyakan mikirin hal-hal yang sebenernya nggak perlu dipikirin dan kurang banyak mikirin hal-hal yang sebenernya perlu dipikirin (?). Anyway, di kursi perpustakaan kampus yang cukup nyaman ditemani sebotol gede kopi susu (iya, botolnya gede, serius deh) inilah jari gue gerak-gerak di atas badan Keith alias laptop gue cerita tentang...postingan blog ini semalem sebelumnya.

Semalem sebelumnya? Go ahead, take a look. Kok gue bisa nulis gitu? Ceritanya sederhana sik. Semester ini gue ambil mata kuliah Creativity and Writing, dan sejak itu insting nulis serius gue muncul lagi. Dari nulis macem-macem di hp, sampe betah berjam-jam di laptop cuma untuk nulis beberapa puisi. Dan postingan itu salah satu puisi yang gue tulis semalem. I was just sitting with Keith in my lap, buka Microsoft Word, gatel liat halaman yang kosong di situ, dan...there you go. Bagus? Enggak. Tapi gue puas karena untuk pertama kalinya gue bisa properly ngungkapin apa yang selama ini pengen banget gue ceritain, tapi belum tau gimana caranya sampe kemarin. Kenapa pengen banget gue ceritain? Karena menurut gue ini hal yang krusial, salah satu hal yang bawa gue balik dari...'masa-masa krisis'. I was just dying to express it.

Di bawah postingan itu ada empat nama. Andrea, Caroline, Jim, dan Sharon. Untuk yang kenal gue dan sepak terjang gue jadi fangirl, mungkin nama mereka nggak asing. Ya, mereka Corr Bersaudara, yang lebih dikenal sebagai The Corrs. Band Irlandia yang super ngehits sekitar akhir 1990-an sampai awal 2000-an, dan sekarang hiatus karena berbagai alasan. Yang seangkatan sama gue, atau seenggaknya lahir beberapa tahun sebelum gue, pasti familiar sama beberapa lagunya. "Breathless"? "Runaway"? "Summer Sunshine"? "All the Love In the World"? "What Can I Do?"? "Only When I Sleep"? "Radio"? Nah, itu baru beberapa yang gue rasa paling ngetop di Indonesia pada masanya. Tapi kali ini gue nggak akan bahas spesifik tentang mereka. Hanya tentang...'hubungan' mereka dengan gue.

Banyak yang tanya ke gue, "Kok lo tergila-gila banget sama The Corrs? Kenapa mereka? Mereka kan udah lama hiatus. Kok lo sering banget denger lagu-lagu mereka dan upload di Path?" Or something of that nature. Ya, gue memang 'gila' kalo ngefans. Gue punya hampir semua album mereka, termasuk album solo Andrea dan Sharon (ini agak ekstrim, tapi gue pernah 'rela' nggak bisa liat dengan jelas karena milih beli CD-CD cantik itu daripada beli kacamata baru...eh, tapi kacamata emang bikin bangkrut sik di sini!), gue punya lagu-lagu mereka yang cuma dirilis di iTunes (that's why I was bloody happy when I got an iTunes gift card on my 19th birthday), kebanyakan lirik lagu-lagu mereka gue hafal by hearts, gue tau konser-konser live mereka yang asik walaupun kebanyakan konser itu digelar pas gue masih TK, gue lumayan aktif di forum yang (kayaknya) merupakan satu-satunya forum fans The Corrs yang masih aktif jaman sekarang, gue masih suka nyari-nyari berita tentang mereka per orang walaupun sekarang cuma Sharon yang aktif di ranah publik, gue sampai belajar main tin whistle dan mulai bisa main beberapa lagu mereka, nulis-nulis karena terinspirasi lirik lagu-lagu mereka, dan begitulah. Gila banget deh. Sebelum mereka gue punya musisi yang gue bener-bener suka, tapi The Corrs itu spesial. Selama ini kalau ditanya, "Kenapa mereka?" gue cuma jawab, "Gue suka perpaduan musik tradisional dan pop rock, clever banget." Which is true, tapi alasan sebenernya is beyond that. Gue yakin hanya segelintir orang yang bisa bener-bener paham, jadi alasan sebenernya lebih sering gue simpen. Alasan yang, sejujurnya, menurut gue sendiri agak absurd.

Oke, mari coba gue jawab. Kenapa mereka? Kenapa mereka yang bener-bener gue suka? Kenapa di saat artis-artis lain dengan musik yang lebih 'gedubrakan' muncul gue tetep dengerin mereka terus? Kenapa gue bisa suka banget sama band yang album pertamanya dirilis pas umur gue masih beberapa bulan? Kayak yang gue bilang sebelumnya, yang seangkatan sama gue atau lahir beberapa tahun sebelum gue pasti tau lagu-lagu mereka. Paling enggak yang gue sebut tadi, karena itu termasuk yang ngehits pada masanya. Gue masih inget banget, tahun 2000 waktu "Breathless" lagi ngetop-ngetopnya gue hampir setiap hari lihat videoklip lagu itu di MTV (yes, I used to watch that channel when it was still about real music!). Lagu itu juga dulu sering banget dipakai jadi background music acara-acara gosip seleb Indonesia yang tayang di sore hari. Jaman di rumah dulu masih pakai PC, bokap punya banyak banget lagu-lagu mereka di WinAmp--yes, jaman WinAmp masih jaya-jayanya! "Radio" dan "Runaway" termasuk yang paling sering diputer di rumah. Satu lagu yang nggak begitu ngetop tapi dulu sering diputer di rumah menjelang jam tidur adalah "Love Gives Love Takes", dan sampai sekarang gue suka puter itu kalau lagi restless. Masa kecil gue deket dengan mereka plus Westlife, dan sejujurnya kalau bukan karena kedua grup itu mungkin gue nggak akan tahu bahwa ada negara yang namanya Irlandia. Ditambah dengan musik The Corrs yang memang perpaduan musik tradisional Irlandia (dengan instrumen macam biola, bodhran, tin whistle) dengan pop rock--gue dan orangtua gue tiga-tiganya penggemar musik tradisional fusion macam begitu, salah satu alasan kenapa lagu mereka cukup sering diputer di rumah dan mobil. I grew up listening to their songs, plain and simple. Lucu juga sih, setiap kali gue ngenang masa-masa denger lagu mereka di Path biasanya suka ada yang kaget begitu gue bilang gue masih TK, karena semua temen-temen gue sesama penggila The Corrs usianya beberapa tahun di atas gue :-)))

Setelah mereka vakum, lama nggak kedengeran lagi. Dan for some reason gue mulai jarang denger lagu-lagu mereka. Walaupun Andrea dan Sharon rilis album solo setelah The Corrs hiatus...well, sejujurnya karir mereka sebagai artis solo pun di mata gue nggak moncer-moncer amat. Mereka tetep jadi household name di banyak tempat, tapi di gue mereka mulai terlupakan. Di saat mereka semua berkeluarga, punya anak, dan ngurus banyak hal lain gue juga sibuk ngurus banyak hal. Termasuk denger lagu-lagu apa aja yang menurut gue enak tanpa punya artis favorit yang bener-bener bikin gue tergila-gila. Yah, kadang-kadang kedengeran juga lagu-lagu mereka yang ngetop ketika lagi buka YouTube atau denger radio yang suka muter lagu-lagu lawas. But that's it. Rasanya bener-bener jauh. Mungkin at some point gue sempet lupa kalo mereka pernah luar biasa terkenal jaman gue kecil dan gue dikelilingi lagu-lagu mereka saat itu. Begitulah kira-kira. Sampai tahun lalu.

Akhir tahun 2012 sampai tahun 2013 adalah tahun yang paling berat buat gue personally. Di saat gue harus fokus dengan Ujian Nasional (UN) sialan yang cukup bikin sakit jiwa dan tetekbengeknya kayak Ujian Sekolah (US) yang sama nyebelinnya, persiapan masuk kuliah, persiapan pindah ke Perth, dan lain-lain, keluarga gue dihantam masalah berat sana-sini. Seberat apa? I'm not sure that I can give the details here, tapi intinya masalah itu bener-bener bikin gue sedih, bikin gue tertekan, bikin gue nangis hampir setiap hari, dan harus pindah-pindah karena dua kali diusir dari rumah yang selama ini gue huni. Orang-orang yang tadinya deket sama gue jadi musuh gue dan jauhin gue. Bahkan beberapa anggota keluarga besar gue nggak bisa bantu apa-apa. Gue jauh dari temen-temen deket gue dan saat itu gue sungguh nggak siap untuk cerita masalah tersebut ke mereka, karena gue bener-bener hopeless saat itu dan mereka saat itu juga udah sibuk sama urusan kuliah masing-masing sementara gue masih nunggu intake untuk masuk kampus gue di Perth. Saat itu gue bener-bener ngerasa kesepian. Orang-orang yang deketin gue cuma gue anggap kayak bayangan yang datang dan pergi. Gue mati rasa. Cuma bisa nangis, marah, dan berdoa agar keberangkatan gue ke Perth bisa dipercepat karena gue udah muak hidup penuh sampah di Indonesia. Ya, segitu lah. Orang-orang yang ngeliat gue sekarang--termasuk kawan-kawan di Perth yang hampir 24/7 ketemu gue--mungkin nggak akan kepikiran gue pernah ngalamin hal-hal kayak gitu, mengingat umur gue yang emang masih bocah. Tapi itulah yang terjadi. I was broken, I was buggered, I was battered. Gue nggak berusaha melebih-lebihkan. Keseluruhan ceritanya hanya beberapa orang selain orangtua gue yang tau. Hanya beberapa temen yang emang bikin gue merasa nyaman untuk cerita. Bahkan sampai saat ini kadang gue nangis malem-malem tiap kali gue flashback masa-masa sampah itu--gue sungguh berusaha melupakan sampai gue pernah ke konselor di kampus, tapi sayangnya sampai saat ini belum bisa. Itulah saat-saat di mana gue bener-bener ngerasa sendirian. Gue agak menghibur diri sendiri dengan mengingat bahwa di dunia ini banyak orang yang lebih menderita dan gue harus tetap kuat. Gue cuma bisa curhat sama Tuhan, dan sayangnya gue masih struggle juga untuk bisa punya hubungan yang 'personal' denganNya.

Tapi ada satu hal yang cukup mencerahkan gue di masa-masa itu. Karena nggak ada rumah, waktu itu gue sering habisin waktu di kantor bokap. Cuma duduk aja, pegang laptop, nikmatin wi-fi, dan buka-buka YouTube. Saat itu gue lagi sering denger lagu "All I Have To Do is Dream"-nya The Everly Brothers. Lagu lawas rilisan tahun 1950-an (!) yang ngehits juga pada masanya. Gue sering cari cover version-nya di YouTube, dan entah berapa video yang gue temuin. Sampai akhirnya tiba-tiba gue nemu versi ini:
By the way, it's the exact video that I found at that time. The very same. Sebenernya kurang tepat kalau disebut lagu The Corrs, karena itu 'cuma' duetnya Andrea dan penyanyi Prancis Laurent Voulzy. Tapi lagu itu masuk ke album Dreams: The Ultimate Corrs Collection alias semacam album the best-nya mereka. Gue denger versi ini tiap hari. Gue suka. Gue selalu replay. Kemudian kata 'the corrs' di videonya bikin kepala gue muter. Ini kan The Corrs yang dulu lagunya sering banget gue denger? Yang lagunya go on go on itu? Yang dulu sering banget muncul di MTV? Yang ada di WinAmp komputer bokap jaman dulu? Kadang-kadang gue ngeliatin foto mereka di video itu dalem-dalem, berusaha nginget masa-masa lagu-lagu mereka diputer di mobil dan rumah keluarga gue saat itu--that picture is now one of my favourite pictures of theirs. Gue cari-cari lagi lagu mereka di YouTube, diawali dengan "Runaway" dan "Radio". Gue download lagu-lagunya ke iPad gue dan gue dengerin terus. Rasanya? Luar biasa. Bayangin ketika hidup lagi penuh masalah dan ada sesuatu yang mengingatkan gue akan masa-masa nyaman waktu gue kecil. Mungkin kedengeran lebay, tapi saat itu ketika denger lagu-lagu mereka hati gue bener-bener adem. Rasanya bener-bener kayak dibawa ke masa kecil di mana nggak pernah ada bayangan bahwa di masa remaja gue akan datang hal-hal 'aneh'. Gue menikmati gesekan biola Sharon, tiupan tin whistle Andrea, dan tabuhan (bener begini kan istilahnya ._.?) bodhran Caroline sebagai pengingat bahwa kecintaan gue sama musik begituan dimulai dari kecil dan semuanya berkat orangtua gue. Di saat masalah-masalah gue tiba, gue denger lagu bereka sebagai pengalih perhatian. Seenggaknya ada yang bisa menghibur gue di masa-masa sampah itu. Dan seenggaknya ada sedikit hal yang bisa bikin gue senyum saat itu.

Momennya tepat. Sekitar saat itu Sharon ke Jakarta. Doi diundang untuk tampil di acara #IRREPLACEABLE-nya Yovie Widianto (hence the #IRREPLACEABLESHARON hashtag that my friends and I frequently include in our Corrs-related tweets), sekalian Sharon rilis album solo keduanya, The Same Sun, di iTunes Indonesia. Gue pengen dateng? Jelas. Tapi yah...di saat-saat begitu di mana rumah aja nggak ada mana kepikiran sih gue untuk 'sekedar' nonton konser? Dan tampillah si Sharon di Jakarta, tanpa gue tonton. Nyesel? Jelas. Sampai sekarang nyesek, terutama tiap kali denger cerita temen-temen #IRREPLACEABLESHARON gue tentang tingkah mereka saat itu. Makanya gue selalu berharap bisa cepet-cepet ketemu Sharon, entah di Perth atau di Jakarta. Anyway, waktu itu gue amazed. Kenapa di saat gue 'rediscover' lagu-lagu The Corrs pas banget saat Sharon ke Jakarta dan rilis album solo keduanya? Entahlah, menurut gue terlalu lucu buat jadi kebetulan. Mungkin Tuhan emang udah ngatur timing yang pas. Dan kok bisa begitu amat pasnya? Sekali lagi, entahlah... Kalau kata lagu The Corrs yang judulnya "Queen of Hollywood", they I could never comprehend.

Dan mulailah gue kulik-kulik lagi tentang mereka. Aktivitas mereka sejak The Corrs hiatus. Kegiatan mereka di dunia maya--walaupun kalau soal ini cuma Sharon dan Jim yang bisa 'diurus'. Makin gue tau mereka (kira-kira) orangnya kayak apa, makin gue kagum. Andrea luar biasa cerdas, kreatif, multitalented, dan dengan doi lah gue paling bisa relate to karena di antara semua Corr dia yang gue liat personality traits-nya hampir-hampir mirip gue, salah satunya pikiran kita sama-sama suka melayang. Caroline down to Earth dan nggak macem-macem. Sharon sangat diplomatis dan, asli, orang ini sungguh nggak ngartis dan ramah banget sama penggemar, baik secara langsung maupun di Twitter. Jim, walaupun sekarang banyak yang nggak sreg sama dia karena aktivitas dia nyebarin berbagai teori konspirasi, is a truly musical genius dan keseriusan dia adalah salah satu faktor penting yang bikin The Corrs sukses. Intinya emang layak digemari--sampai orangtua gue approve dan bahkan encourage gue untuk lengkap-lengkapin album mereka, hahaha!

Dengan denger lagu-lagu mereka, gue jaga semangat gue untuk siap-siap kuliah di Perth. Bahkan gue sempet mikir, rasanya sulit untuk membayangkan bisa kuliah dan tinggal di luar negeri di tengah-tengah masa-masa sampah itu. Sambil denger lagu-lagu The Corrs, gue tetep jaga semangat dan motivasi gue. Gue harus tetep ke Perth. Impian ini sudah bertahun-tahun gue simpen dan gue nggak akan biarkan apapun menghalangi itu. Everything's on the right track and nothing would ruin it, not even shits like these. Gue denger lagu-lagu mereka di pesawat GA 724 yang bawa gue dari Jakarta ke Perth. Mereka beri alasan gue untuk senyum dan terhibur, dan dengan gue senyum dan terhibur gue bisa jaga dan mencapai apa yang udah gue inginkan selama bertahun-tahun, sejak awal gue masuk SMA. Sekarang gue di sini dan seolah-olah gue nggak pernah ngalamin masa-masa sampah itu.

The Corrs juga secara nggak langsung bawa gue ke temen-temen yang asik. Lewat Twitter gue kenal pionir-pionir #IRREPLACEABLESHARON yang (so damn lucky!) bisa wawancara Sharon ketika doi konser di Jakarta. Now I consider them among my best of friends. Mereka gila, mereka rame, dan mereka perhatian. Kita bisa ngomongin apa aja dengan cara kita yang nggak waras, mulai dari tentang (tentunya) The Corrs sampai ke hal-hal lain yang nggak berkaitan. Karena kita semua punya kesibukan sendiri-sendiri--apalagi gue yang paling jauh--mostly kita berkomunikasi lewat WhatsApp dan Path. Waktu gue liburan ke Jakarta, beneran deh gue seneng banget bisa ketemu empat dari mereka (total kita ada tujuh orang). Gue sama sekali nggak keberatan langsung pergi ke Gandaria City untuk nemuin mereka walaupun baru aja semalem sebelumnya gue terbang lima jam non-stop dari Perth ke Jakarta. Rasa capek hilang. Mereka orang yang luar biasa dan dari mereka gue bisa belajar banyak. Along with some of my tennis friends they truly are my brother and sisters--yeah, cowoknya cuma ada satu. Guys, kalau kalian baca postingan ini...aku sih cuma bisa bilang I love you all. From the deepest of my heart.
Kelar pertemuan di Gandaria City--foto dicomot dari blognya Ajeng
Sampai sekarang gue nggak pernah take their songs for granted. Masing-masing lagu mereka, termasuk lagu solo Andrea dan Sharon, punya arti tersendiri buat gue. Banyak lirik lagu mereka yang secara nggak langsung menggambarkan hidup gue di saat lagi penuh masalah, dan di malem hari ketika lagu itu ke-shuffle biasanya pasti ada aja air mata yang keluar.

Tears, tears in the night
Sorrow take flight
Oh please come back to me
Each we believe
Never to grieve
I give my world to you

Send, send her away to her grieving
I will never set you free
No more, no, no more life without meaning
You and I will fly to

Love in my mind
Love in my soul
I just can't let go
Sadness fills my life
Oh my fruitless plight
Only heaven knows
--"Heaven Knows", Forgiven, Not Forgotten (1995)

She's a girl in her world
She's moving as fast as she goes
Loves her mum and her dad
The only secure that she knows

But at night she's alone
She's dreaming of somebody new
Her someone for to hold
She's praying the dream will come true
...
There's a pain in her heart
She's trying so hard to unwind
Makes her cry in the night
When visions so real make her blind

Wants to break through the fear
Erasing the scars from within
Start a new kind of being
She's down and she's praying again
--"Hurt Before", In Blue (2000)

My life, just when it's going well
I smash it all to pieces
I'm like a magnet to the ground
To everything that's creeping
...
These situations
Are my own creation
A dark fascination
I want to be small again
--Andrea's "Stupidest Girl In the World", Ten Feet High (2007)

Tell me where is home
I can't see it out there somewhere
Tell me where is home
I need to find my way
Help me to find my way
--Sharon's "Edge of Nowhere", The Same Sun (2013)

When harm is done no love can be won
I know, it happens frequently
What I can't understand, please God hold my hand
Is why it should have happened to me
--"Heart Like a Wheel", Home (2005)

Itu beberapa yang selalu bikin gue bergetar dan ujung-ujungnya nangis tiap gue denger malem-malem--makanya di siang hari gue berusaha untuk nggak dengerin lagu-lagu itu (kecuali "Heaven Knows", karena jedak-jeduknya asik banget buat jalan kaki). Terutama yang terakhir, "Heart Like a Wheel". Ketika gue inget masa-masa sampah gue dan apa yang udah gue alami, gue sering bertanya-tanya why it should have happened to me. Why me? Manusia di dunia ini banyak. Remaja cewek Indonesia banyak. Out of all those people, kenapa gue yang ngalamin semua itu? Gue nggak pernah tahu. Gue sendiri masih bingung kenapa. Gue yakin Yang di Atas punya alasan, tapi gue tetep penasaran kenapa gue. Waktu kecil, gue nggak pernah bayangin hal-hal itu akan terjadi. Kayak anak kecil kebanyakan aja, maunya seneng-seneng terus. Gue nggak pernah nyangka bahwa di usia yang mulai tua tapi belum dewasa nanti gue bakal dihajar sana-sini sampai gue nangis setiap hari, sampai rasanya babak belur luar biasa. Yah, namanya anak kecil mana sih bakal kebayang begituan? Apalagi masa kecil gue emang mostly normal. Ketika masalah-masalah itu mulai dateng, gue emang keliatan 'biasa-biasa aja', nangis pun gue banyakan diem-diem, tapi deep down gue kaget luar biasa. Rasanya kayak kesamber petir berulang-ulang. Mungkin karena bawaan gue yang suka pura-pura nggak ada apa-apa kebanyakan orang yang gue ceritain soal ini kaget, termasuk nyokap gue (yang waktu itu tinggal terpisah sama gue). Toh gue anehnya bisa cerita sambil ketawa-ketawa dan ngomong nyinyir kayak ngomongin hal yang kurang penting. Banyak yang bilang, termasuk orangtua gue, bahwa semua ini terjadi karena Tuhan pengen gue cepet dewasa, pengen gue tegar, pengen gue kuat. Gue setuju. Luka-luka karena dihajar sana-sini in some ways bikin gue nggak begitu lembek tapi tetep sensitif. Bahkan for some reason gue ngerasa lebih pinter gara-gara semua itu. Gue percaya. Tapi tetep kok, gue masih bingung kenapa semua itu terjadi? Kenapa ke gue? Kok bisa sih? Dan gue nggak yakin gue bakal tau jawabannya anytime soon.

Tapi, looking back, ada hal asik yang kebawa dari pengalaman sampah itu. Kalau waktu itu gue nggak lagi galau di kantor bokap sambil buka-buka YouTube, mungkin gue nggak akan nemu The Corrs lagi. Andrea Jane, Caroline Georgina, James Steven Ignatius a.k.a. Jim, dan Sharon Helga bakal jadi bagian dari masa kecil gue yang nggak pernah gue buka-buka lagi. Mungkin gue nggak akan belajar main tin whistle. Mungkin gue nggak akan lebih getol nulis-nulis. Mungkin gue nggak akan ketemu temen-temen gila yang selalu bikin gue merasa nyaman dan secara nggak langsung ngasih gue banyak pelajaran hidup. The Corrs adalah bagian besar yang nggak terpisahkan dari pemulihan gue dari masa-masa sampah itu. Lagu-lagu mereka yang gue 'rediscover' bawa gue untuk senyum dan terhibur lagi setelah capek nangis setiap hari. Listening to their songs--including Andrea's and Sharon's--always feels therapeutic to me. Mereka mengingatkan gue akan masa-masa di mana gue pernah jadi anak kecil yang nggak punya bayangan aneh-aneh, which in turns ngingetin gue bahwa di masa segelap apapun pasti ada seenggaknya satu hal yang terang. Susah sik ngomongnya, but I can never thank them enough for that. Even if they don't know for now.

Salah satu hal yang pengen gue lakukan berkaitan dengan The Corrs adalah...kalau suatu hari--INSYA ALLAH, AAMIIN YA RABBAL AALAMIIN!--gue berkesempatan untuk ketemu dan nonton konser Sharon, gue ingin nulis kenapa dia dan saudara-saudaranya serta karya-karya mereka berarti banget buat gue. In Andrea's words, they have brought me back from the abyss. Kenapa gue bisa jadi devoted fan. Dan bagaimana gue nemuin diri gue sendiri dan jalan gue setelah dihajar sana-sini. Tulis di kertas kecil dan kalau bisa ketemu kasih ke dia--gue pernah denger ada salah satu penggemar The Corrs yang melakukan hal serupa ke Sharon, dia nulis kenapa lagu "Runaway" berarti banget buat dia. Itulah kenapa di akhir postingan puisi gue sebelum ini gue tulis 'thank you for bringing me back'. Secara nggak langsung mereka yang bawa gue kembali ke diri gue yang beneran, yang masih bisa ceria dan nggak galau terus. Gue bisa masuk tahap pemulihan dari yang awalnya stress berat secara nggak langsung karena mereka. Kurang lebih itulah arti The Corrs buat gue, dan kenapa gue bisa ngefans berat sama mereka. Itulah, kalau orang tau masa-masa sampah gue dan liat gue yang sekarang. Itulah, salah satu alasan gue bisa mencapai salah satu impian gue walaupun sempet hampir terhalang masa-masa sampah itu. Karena mereka.

Picture of The Corrs courtesy of the Irish Independent.

5 comments:

  1. what can i say...it came when you let your honestly came out.masa remajaku dengan musik dari the corrs dan westlife.q mendengarkan musik mereka sejak SMU kelas 2,and you know what itu tahun 1999.
    dan sampai sekarang aku tidak pernah malu mengatakan bahwa aku penggemar westlife meskipun mereka telah bubar.dan irlandia memang memberikan warna yang berbeda terhadap musik.
    kejujuran dalam tulisanmu ini makes me feel it too,aku pun pernah merasakan hal itu dan sometimes it's like out of the blue theres a door open in front of us...terima kasih untuk tulisan yang jujur ini

    @heriyan01

    ReplyDelete
    Replies
    1. The Corrs dan Westlife selalu sukses bawa saya ngawang-ngawang di kenangan masa kecil, dan saya bangga jadi penggemar mereka! Setuju, Irlandia sukses memberi warna yang berbeda terhadap musik, terutama dengan sentuhan musik tradisional kayak The Corrs :-)

      Nulis ini bikin saya makin mengagumi mereka. Indeed they opened a new door. You are very welcome, and thank you for reading and leaving a comment ;-)

      Delete
  2. Hmmm jd ikut terharu :") baru2 ini saya pun mulai mendengarkan the corrs lg rasanya nyeeeees...adem. Bikin semangat hidup lg. mereka selalu ada di hati walaupun bbrp thun kmrn smpt terlupakan krn sibuk ngurus anak. Update trus ttg the corrs yah. Saya pasti yang dluan baca :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, pengalaman kita mirip-mirip ya. Memang lagu-lagu The Corrs selalu bikin adem karena banyak banget kenangannya. Terima kasih sudah mampir :-) insya Allah kalau ada yang menarik tentang mereka nanti pasti ditulis :-D

      Delete
  3. Finally , ada temen juga buat nge fans sm Quartet nya Corrs Family . Mungkin agak kuper juga karena ternyata di Indo bnyk bgt yg ngefans sm mereka . Lagu nya selalu mewakili perasaan . The Corrs juga jago mengemas lagu tradisional menjadi super modern easy listening . Thanks buat sist Mentari yg share tentang the corrs , really true about you told in this blog . Ngebantu banget ! Sukses . Sering-sering yaa bahas the corrs

    ReplyDelete