Untuk entah keberapa kalinya ia baca ketiga surat itu. Surat pelipur lara, pengingat bahwa masih ada yang berharga di dunia ini yang ia miliki. Tak ada kata-kata bersayap, tak ada majas-majas manis ala penyair, tetapi baginya kata demi kata dalam surat-surat itu lebih indah dari syair manapun. Kata-kata itu yang dengan hangat menyentuh hatinya yang dingin, dengan setia menemaninya di kala sepi menghampiri.
Tuhan berkati, Anakku, lekaslah pulang. Kata surat pertama. Surat yang ditulis seorang ibunda yang tak henti-hentinya merapal doa setiap malam, memohon agar putra kesayangannya lekas kembali dengan selamat. Hati sang putra pedih membayangkan air mata ibunya yang tumpah di lantai gereja di kampung halaman mereka, suaranya yang parau memohon hal yang sama kepada Tuhan. Ia teringat ketika ia masih kecil, tak lebih dari tujuh tahun usianya, dibawa sang ibu melihat parade tentara berseragam yang gagah.
“Siapa orang-orang itu, Ibu?” tanyanya.
“Mereka tentara. Merekalah yang ditugaskan untuk mengawal negeri ini dan juga sang Raja. Gagah sekali, bukan?” jawab sang ibu.
Ia mengangguk. Tentara-tentara itu gagah sekali kelihatannya dengan seragam kebesaran mereka, dan senapan di gendongan. Orang-orang berkumpul di pinggir jalan, menatap para pengawal negeri tersebut dengan decak kagum.
“Kalau sudah besar, aku akan jadi tentara. Aku akan memakai seragam, mengawal negeri ini, mengawal sang Raja, dan mengawal Ibu.”
Jika ia tahu bahwa kehidupan tentara tak seindah seragam yang mereka kenakan, tentulah ia tak akan mengatakan hal seperti itu. Namun, siapa yang bisa menyalahkan kata-kata anak kecil yang penuh ketidaktahuan?
Sayang, Tuhan melindungimu senantiasa. Kata surat kedua. Air matanya menetes membaca kata-kata itu. Betapa rindunya ia akan pelukan hangat istri tercintanya. Ia rindu masakan istrinya, ia rindu melihat senyum manis istrinya. Ia dekap surat itu ke dadanya, tepat ke lapisan kulit dan daging yang menutupi jantungnya. Hangat ia rasakan, seolah-olah tangan istrinyalah yang menyentuhnya dan bukan selembar kertas.
Ia tak sabar ingin pulang ke rumah, melihat wajah istrinya berseri-seri menyambutnya. Bermil-mil jauhnya ia dari rumah, dan tak ada satu hari yang ia lewatkan tanpa memikirkan istrinya. Wajah cemerlang istrinya senantiasa menari-nari di pikirannya, meneranginya di kala gelap, menyenangkannya di kala sedih, meramaikannya di kala sepi. Seperti apa rupa istrinya sekarang? Berapa lembar uban yang sudah muncul di rambut legamnya? Sudahkah bermunculan kerut-kerut bandel di wajahnya? Satu hal yang ia yakini, istrinya masih sama cantiknya seperti dulu ketika ia pergi meninggalkan rumah.
Dikeluarkannya sebuah foto dari saku celananya. Foto pernikahannya dan istrinya. Mereka nampak begitu bahagia, begitu muda, begitu ceria. Ya, seharusnya mereka tetap seperti itu, andaikata suatu peristiwa durjana bernama perang tak merekah merenggut semua yang seharusnya mereka rasakan.
Pulanglah, Ayah, aku merindukanmu. Kata surat ketiga. Ia tersenyum geli melihat tulisan kecil-kecil yang agak berantakan di surat ketiga, dengan beberapa kesalahan eja di sana-sini. Namun ada rasa bangga terpercik dalam hatinya, mengetahui putrinya sudah bisa membaca dan menulis. Sungguh cepat rasanya waktu berlalu, ia rasakan. Sepertinya baru kemarin ia melihat putrinya untuk pertama kalinya, menggendongnya, memberinya nama, menghadiri pembaptisannya. Dan sekarang putrinya sudah bisa membaca dan menulis. Begitu banyak hal yang ia lewatkan dalam perkembangan putrinya.
Ah, pikirnya. Putriku tercinta, sebesar apa ia sekarang? Terakhir kali ia melihatnya, putrinya tak lebih tinggi daripada lututnya. Ia yakin sekarang sang putri sudah jauh lebih tinggi, dan pastinya kecantikannya sudah mulai terlihat. Dan ia sangat yakin putrinya mewarisi kecantikan ibunya. Dadanya sesak mengingat ia tak bisa menjaga putrinya, menyaksikannya belajar membaca dan menulis, melihatnya tumbuh. Lebih sesak lagi ketika ia mengingat sudah entah berapa lama putrinya menjalani hari-hari tanpa seorang ayah di sampingnya, tanpa seorang ayah yang menggendongnya dan memberinya ciuman selamat malam. Jika bukan karena perang, tentulah ia akan hidup bahagia bersama putrinya setiap hari.
Ia tak pernah, seumur hidup tak pernah, ingin saling membunuh hanya karena alasan politik. Hatinya bergejolak setiap kali ia harus mengangkat senjata, menarik pelatuk senapan. Ia benci perang. Perang merenggut dirinya dari keluarganya. Perang membuatnya harus menanggung derita karena terpisah jauh dari orang-orang yang dikasihinya. Ia mengutuk orang-orang yang merasa bahagia dengan adanya perang ini, ia melaknat orang-orang yang tertawa-tawa melihat begitu banyak darah tumpah dan jiwa tak berdosa yang hijrah ke surga sebelum waktunya.
Ia tak punya pilihan. Ia dipaksa berperang, itulah tugasnya sebagai tentara. Jika ia disuruh membunuh, ya ia harus membunuh, tak peduli betapa hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Namun sebisa mungkin ia selalu mencoba untuk tak menembakkan senjatanya selain untuk mempertahankan diri. Tuhan mengajarkan cinta kasih kepada semua umat manusia, dan sebagai umat beragama ia selalu merasa wajib mengamalkan ajaran tersebut dalam keadaan apapun.
Ia tak seharusnya di sini. Ia seharusnya di rumah, bercengkerama dengan keluarganya, mendengar celoteh putrinya, merengkuh erat istrinya, membaktikan diri kepada ibunya. Namun alih-alih ia mendengar deru senapan dan pesawat tempur setiap hari, merengkuh senjata, membaktikan diri kepada hal yang tidak pasti. Betapa rindunya ia akan suasana rumah. Betapa rindunya ia akan sentuhan hangat ibu, istri, dan putrinya.
Tuhan, batinnya. Secepat yang Kau bisa, kembalikanlah aku pada ibu, istri, dan putriku.
Kembali ia baca ketiga surat tersebut. Seutas senyum tersungging di bibirnya. Betapapun kesepiannya dirinya, ia tahu ia harus kuat untuk keluarganya. Keluarganya tak ingin melihatnya lemah. Ia berusaha kuat. Ia berusaha tegar. Ia yakin suatu hari perang akan berakhir dan ia akan pulang. Dan ia harus kuat dan tegar sampai hari itu tiba.
Ia mendongak, memandang bintang-bintang bertaburan di langit malam. Bintang-bintang itu mengingatkannya kepada saat-saat ia menikmati malam berbintang bersama istri dan putrinya. Sementara ibunya akan memandang keluarga kecil itu dengan tatapan penuh kasih dan senyum hangat tersungging.
“Ayah,” putrinya bertanya suatu hari. “Ada berapa bintang di langit? Bisakah kau menghitungnya?”
“Tidak, Sayang,” jawabnya lembut. “Ada terlalu banyak bintang untuk dihitung. Ratusan, ribuan, bahkan jutaan.”
“Dari mana bintang-bintang itu berasal?” tanya sang putri lagi.
“Bintang-bintang itu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan ingin umatNya yang bersedih akan terhibur melihat kelap-kelip di langit, maka Ia menciptakan bintang agar umatNya senantiasa senang,” jawabnya.
“Jadi, jika aku sedih, bisakah aku melihat bintang agar aku ceria kembali?” putrinya bertanya lagi.
“Tentu bisa, Sayangku,” jawabnya. “Jika kau sedih, bintang-bintang itu akan membawa senyuman orang-orang yang kau sayangi dan kau akan ceria lagi.”
Kini ia menyadari ucapannya itu memang benar. Bintang-bintang itu membawa senyum hangat ibunya, senyum manis istrinya, dan senyum ceria putrinya. Sembari memandang bintang, ia mendekapkan ketiga surat yang baru ia baca ke dadanya, dekat dengan jantung. Rasa hangat yang tak bisa ia gambarkan melanda tubuhnya.
“Aku pasti akan pulang,” bisiknya. “Janji.”
Janji itu ia tepati. Tiga bulan kemudian, ia pulang. Ia pulang dengan tersenyum, seolah-olah senang karena telah menepati janjinya. Ia pulang mengenakan seragam kebesarannya, kedua tangan tertangkup di perutnya.
Namun bukan tawa riang dan pelukan hangat yang menyambutnya. Alih-alih, ia pulang disambut tangisan histeris ibunya, isakan istrinya, dan jerit putrinya. Ikut serta dalam kepulangannya adalah sebuah peti mati kayu yang membungkus tubuhnya yang berbaring dalam sepi.
Ia pulang. Ia benar-benar telah pulang.
No comments:
Post a Comment