My gift
is my song
And this
one’s for you...
Hari belum usai, namun sudah terasa begitu
melelahkan. Kulirik arlojiku. Saat ini pukul 17.30 dan aku masih menyusuri
lorong sekolah, dengan rambut ekor kuda acak-acakan, sepatu keds yang talinya
tidak diikat dengan benar, dan kaos olah raga yang penuh keringat. Benar-benar
bukan penampilan terbaikku.
Klub modern
dance yang membuatku seperti ini. Setiap Jumat sore, Kak Joy, pelatih dance kami, memang agak sedikit lebih
kejam dari biasanya. Mungkin dipikirnya, esok sudah weekend, sehingga ia seolah mendapat izin untuk memforsir kami hingga
tetes keringat terakhir untuk menyelesaikan koreografi ciptaannya.
Dan hari ini, aku
benar-benar merasa lebih lelah dari biasanya. Seribu kali lipat! Kak Joy
memarahiku berulang-ulang karena aku membuat banyak kesalahan. Ia bahkan
menghukumku merapikan studio tari setelah aku melakukan kesalahan fatal,
terjatuh saat berada di puncak piramida.
Alhasil, aku pulang 30 menit lebih lambat dari
semua orang di klub. Bahkan mungkin dari semua orang di sekolah, karena lorong
ini terasa begitu gelap dan sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.
Satu-satunya pergerakan adalah langkah kakiku yang sedikit gemetaran. Entah
karena takut, atau karena kelelahan.
Ah,
semua gara-gara Mona!
Sampai bulan lalu, Mona adalah sahabatku. Kami
berdua bisa dibilang perempuan-perempuan paling populer di kelas 11. Namun semua
berubah sejak aku menyatakan ingin keluar dari klub modern dance. Aku ingin mendalami hasratku di bidang sastra dan
bergabung dengan klub menulis.
Mona tak mau mengerti. Ia menyebutku
pengkhianat. Menurutnya, aku bisa menjatuhkan harga diriku sendiri karena ingin
berubah menjadi gadis kutu buku. Menjatuhkan harga diri kelompok pertemanan
kami. Baginya, tidak semua gadis beruntung bisa menikmati popularitas di SMA,
dan aku malah menyia-nyiakannya.
Mona tak pernah bisa memahami jika jiwaku
memberontak saat menjadi populer seperti sekarang ini. Aku tidak ingin dikenal
dengan cara ini. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi membaca di sudut nyaman
perpustakaan karena takut dipermasalahkan oleh teman-temanku sendiri. Aku juga
tidak ingin mengirim hasil karyaku ke majalah sekolah dengan anonim.
Aku ingin dunia mengetahui siapa diriku
sebenarnya. Dan aku ingin mengekspresikan segalanya lewat tulisan. Hampir
setiap hari aku memikirkan semua ini hingga aku nyaris tak bisa berkonsentrasi
pada apa pun yang kulakukan.
Mengapa
tidak ada seorang pun yang bisa memahamiku?
Aku
benar-benar butuh seseorang...
Sayup-sayup, telingaku menangkap suara dari
ujung lorong. Dari arah Lab Biologi. Aneh, pikirku. Mestinya tak ada seorang
pun di sana. Bulu kudukku bergidik. Namun entah sihir apa yang menghampiriku,
alunan itu begitu memesona sehingga tanpa disadari aku sudah berada di depan Lab
Biologi.
Sebuah lagu klasik yang rasanya begitu familiar liriknya, rasanya pernah
kudengar di play list ayahku. Ih, lagu tua! Pilihan yang benar-benar tidak
biasa, pikirku. Namun yang ini mengalun dengan kesan hangat saat sang
pemilik suara bernyanyi dengan warna suara yang berat. Lembut. Mirip Sam Smith, mungkin.
I sat on
the roof and I kicked off the moss
Well
some of the verses, well they’ve got me quite cross
But the
sun’s been kind, while I wrote this song
It’s for
people like you that keep it turned on
Gubraaakkk!!
Aku tidak ingat persis apa yang
terjadi, namun aku tiba-tiba menemukan diriku terjerembab di lantai, di dalam
Lab Biologi. Sepertinya aku mencoba melekatkan telingaku ke pintu, namun
ternyata pintunya tak tertutup dengan rapat.
Sang pemilik suara berhenti
bernyanyi. Aku tak berani mengangkat wajahku, alhasil aku hanya menatap
sepasang sepatu converse hitam miliknya.
“Ma.. Ma.. Maafkan aku. Aku
hanya kebetulan lewat dan mendengarmu bernyanyi. Eh, suaramu bagus. Lagunya...,”
kataku terbata-bata kepada sepatu converse itu.
Aku segera bangkit dan
berbalik. Aku bahkan tak sempat menatap wajahnya. Aku terlalu panik dan
mengambil langkah seribu.
*****
Sepertinya minggu ini adalah
minggu terberat sekaligus terburuk dalam hidupku. Mona dan teman-temanku yang
lain semakin menyiksaku. Mereka tak mau makan siang di meja yang sama denganku.
Mereka tak mau berbagi catatan pelajaran denganku. Mereka tak mau berbicara
denganku sepanjang hari. Mereka mengucilkanku. Aku kini hanyalah gadis terasing
yang tak punya teman. Seorang outcast.
Aku tahu dengan pasti
penyebabnya. Aku resmi mengundurkan diri dari klub modern dance.
Aku masih menyukai tari, tetapi
kursus balet setiap hari Minggu yang kutekuni sejak masih berumur 5 tahun sudah
cukup memuaskan kecintaanku. Aku merasa tak perlu lagi bergabung dengan klub modern dance. Apalagi aku sadar betul
ketika pertama kali bergabung dengan klub ini tahun lalu, aku hanya mengikuti
Mona.
Dan aku juga sudah tahu dengan
pasti apa yang akan terjadi setelahnya. Ini adalah resiko yang harus kujalani
setelah membuat pilihan. Tidak mengapa, terkadang kita memang harus membayar
mahal atas apa yang sudah kita pilih dalam hidup.
Hanya ada satu hal yang
membuatku semangat menjalani minggu ini di sekolah. Pagi tadi, aku menemukan
selembar kertas post-it berwarna
kuning yang sepertinya dijejalkan dengan paksa ke dalam lokerku.
Selamat pagi, gadis manis yang punya hobi mengintip.
Semoga hari ini menyenangkan.
Jangan terlalu banyak melamun saat makan siang.
Aku tahu sendirian itu tidak enak.
Cobalah datang ke tempat pertama kali kita berjumpa.
Ah, pasti Sam Smith!
Aku tidak tahu namanya. Sempat
melirik wajahnya pun tidak. Akan tetapi aku tahu ketika bernyanyi, suaranya
begitu hangat menggoda. Jadi aku memanggilnya Sam Smith. Sam Smith bersepatu
converse hitam.
Maka, di sinilah aku, kembali
menyusuri lorong sekolah yang sunyi, tepat satu minggu setelah aku berjumpa
dengannya. Aku tahu ini agak gila, tapi aku benar-benar penasaran dengan sosok
lelaki bersuara indah itu. Atau mungkin, hati nuraniku berkata aku benar-benar
membutuhkan seorang teman saat ini. Dan Sam Smith mungkin bisa menjadi temanku?
Entahlah.
Aku sengaja pulang sore hari
Jumat ini. Aku menawarkan diriku kepada Miss Debora, pustakawati sekolah,
melabeli koleksi buku-buku terbaru sehingga aku bisa tetap di sekolah sampai
sore. Dan kembali menyusuri lorong sunyi ini tepat pukul 17.30.
Samar-samar kulihat seberkas
cahaya dari arah Lab Biologi. Kuberanikan diri membuka pintu kayu bercat
cokelat tua itu. Sam Smith?
“Mencari siapa, Hera?”
Bukan Sam Smith! Itu Miss
Lidya, guru Biologi.
“Eh, tidak, Miss. Saya kira ada
orang lain di sini,” jawabku ragu.
“Dia menitipkan ini untukmu.
Ambillah.”
Miss Lidya menyodorkan sebuah
amplop cokelat besar. Tak ada tulisan apa pun di luarnya.
“Siapa, Miss?”
Aku merasa bingung, tetapi
kuterima juga amplop misterius itu.
“Oh, dia anak yang minggu lalu
kuhukum merapikan Lab Biologi karena telat mengumpulkan tugas lebih dari dua
minggu.”
“Siapa, Miss?” kataku mengulang
pertanyaanku barusan. Aku merasa konyol karena terlihat terlalu ingin tahu.
“Nanti juga kamu akan tahu,”
kata Miss Lidya tersenyum simpul.
Aku tahu percuma bertanya lebih
lanjut, jadi aku memohon diri pada Miss Lidya dan beranjak pergi meninggalkan
Lab Biologi.
Aku pulang ke rumah secepat
yang aku bisa. Kulempar tas ransel ke atas tempat tidurku, mengenai Mr. Puff,
kucing kesayanganku, yang segera melompat karena kaget, dan duduk selonjor di
atas karpet, bersandar pada tempat tidur. Hanya dalam hitungan detik, sebuah flash disk meluncur keluar dari amplop
coklat yang kurobek sampulnya. Ada sebuah kertas post-it kuning menempel pada flash
disk itu.
Jangan pernah merasa sendirian, gadis pengintip.
Hera, bukan? Dewi langit.
Semestinya kamu berjalan selayaknya penguasa matahari dan
rembulan.
Tersenyumlah, dan jalani saja apa yang kamu yakini.
Kita akan berjumpa lagi nanti saat kamu sudah lebih ceria dari
hari ini.
Kucolokkan flash disk itu ke notebookku.
Rupanya sebuah file audio. Suara Sam Smith bersepatu converse hitam melantunkan
lagu klasik familiar yang kudengar pada
senja minggu lalu, kini kudengarkan kembali saat matahari mulai menyemburkan
semburat jingga di langit, hendak kembali ke peraduan.
So excuse me forgetting, but these things I do
You see I’ve forgotten if they’re green or they’re blue
Anyway the thing is what I really mean
Yours are the sweetest eyes I’ve ever seen
Aku pun terbuai dalam alunan
lembut suaranya hingga terlelap di lantai kamarku yang nyaman.
*****
Aku
kembali menjalani minggu yang berat. Sangat berat, hingga kepalaku benar-benar
penat dan sebentar lagi bakal meledak. Stress. Lelah. Muak!
Bahkan
buaian suara Sam Smith bersepatu converse hitam yang sudah kumasukkan ke dalam play list ponselku, dan kudengarkan
setiap saat, tak cukup menghiburku. Mona sudah benar-benar keterlaluan!
Senin,
ia kembali mengucilkanku. Selasa, ia berkata kepada Kak Joy kalau aku
menjelek-jelekkan klub modern dance.
Tak mudah meyakinkan Kak Joy bahwa aku tidak pernah melakukannya. Untung Kak
Joy mempercayaiku pada akhirnya.
Rabu,
Mona menghancurkan kertas berisi essay yang akan kukumpulkan untuk klub
menulis. Kamis, ia menulis di sosial media, jika ada seorang pengkhianat di
dalam kelompoknya. Dan pengkhianat itu – meski tak ia sebutkan namanya – tentu
saja adalah aku.
Akan
tetapi, penghujung minggu ini adalah puncaknya. Saat berjalan menuju lokerku
sepulang sekolah, aku disambut oleh kerumunan orang. Sebagian menatap lokerku
seolah sedang mengamati mahakarya Monalisa,
sementara sebagian lain menoleh ke arahku yang baru saja tiba dan pasti
terlihat kebingungan.
Aku
mendesak kerumunan orang dan berdiri tepat di depan pintu lokerku yang kini
sudah penuh dengan coretan yang aku kenal betul pemiliknya.
Enyah kau, pengkhianat bangsat!
Entah
berapa detik atau bahkan menit aku hanya berdiri mematung menatap tulisan yang
diukir menggunakan cat berwarna merah itu. Pikiranku disesaki berbagai hal
buruk yang membuat hatiku sakit. Pengkhianat.
Bangsat. Aku adalah seorang pengkhianat bangsat!
“Kehabisan
kata-kata, Hera?”
Tiba-tiba
suara Mona terdengar dari belakangku. Kelompok orang yang sedari tadi
berkerumun, secara otomatis menyingkir. Namun mereka belum sepenuhnya pergi
karena pasti penasaran dengan apa yang akan Mona lakukan terhadapku.
“Ada
apa? Lidah kamu tak bisa berbicara? Apa kamu mendadak menjadi bisu?” kata Mona.
Kali ini dengan nada yang kasar.
“Mona...”
“Apa?
Mau bertindak sebagai korban yang patut dikasihani di hadapan semua orang ini?”
Mona menunjuk orang-orang di sekeliling kami.
“Mengapa
kamu tidak mau membiarkanku sendiri? Aku tidak pernah mengganggumu,” kataku
akhirnya. Aku berusaha keras menahan tangis karena aku tak ingin dipandang
lemah. Tidak, jika aku tidak punya kesalahan sama sekali.
“Kamu
pengkhianat, Hera. Kamu mengkhianati aku. Kita berjanji selalu bersama. Dan
lihatlah sekarang apa yang terjadi.”
“Aku
hanya keluar dari klub modern dance.
Aku tidak berniat menjauhimu. Coba pahami keinginanku.”
“Kamu
pergi. Itu saja sudah cukup bagiku untuk melihat bahwa kamu adalah pengkhianat.”
“Jangan
begitu, Mona...”
“Diam!
Kamu tak berhak bicara. Pengkhianat tak berhak membela diri. Kamu adalah
sampah. Aku akan membencimu mulai sekarang.”
“Tidak!”
kataku setengah berteriak.
“Apa
yang baru saja kamu bilang?” Mona menantangku seolah aku baru saja mengatakan
hal penuh dosa.
“Tidak,
Mona. Sudah cukup. Silakan kamu membenci sepuasmu, tapi aku tidak akan
mengalah. Aku tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Aku sudah cukup bersabar
menghadapimu selama ini.”
“Sabar?
Kamu mengkhianatiku, Hera. Aku yang sakit hati. Kamu tega!”
“Tidak,
Mona. Kamu yang membenciku. Kamu menghabiskan seluruh energi untuk membenciku
sejak bulan lalu. Apa kamu tidak lelah?”
“Itu
semua karena kamu mengkhianatiku...”
“Aku
tidak pernah...”
“Diam!!!!!!”
Mona
mendorongku cukup keras hingga punggungku menabrak loker dan terjatuh, lalu ia
pergi meninggalkanku begitu saja.
Baru
kali ini aku melihat Mona menatapku penuh kebencian, seolah ada nyala api di
dalam matanya. Aku tahu dengan pasti, kami tak akan pernah berteman lagi
setelah ini.
*****
Lorong
sekolah seketika menjadi sunyi.
Aku
sendirian, masih dalam posisiku terduduk di lantai, di depan loker. Tak ada
satu jiwa pun yang menghampiriku. Semua kelihatan enggan, mungkin tak ada yang
ingin membantu seorang outcast. Mereka
hanya berlalu sampai akhirnya tak ada lagi orang yang berjalan di lorong.
Kemudian
aku mulai menangis. Air mata mengalir membasahi pipiku. Aku berjanji pada
diriku sendiri untuk tidak menangis, namun aku merasa teramat lelah. Bahkan
ragaku tak sanggup lagi menghadapi semua ini. Menangis adalah pelarian yang
paling mudah.
“Jangan
menangis, Hera.”
Aku
mendengar suara lelaki memanggilku. Samar-samar. Aku mengangkat wajahku dan
melihatnya berdiri di hadapanku. Pandanganku masih buram terhalang air mata,
jadi aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Sepertinya bukan seseorang yang
kukenal.
Lekai
itu cukup tinggi, rambutnya berwarna hitam gelap, dan kulitnya memiliki kesan cokelat
terbakar matahari. Ia mengenakan seragam sekolah berbalut jaket jeans biru. Dan
sepatunya... converse berwarna hitam.
Sam
Smith bersepatu converse hitam!
“Jangan
menangis, gadis pengintip,” katanya sambil berjongkok di hadapanku. “Kamu lebih
manis jika tersenyum.”
“Kamu yang waktu itu...” kataku masih terisak.
Kuhapus air mata yang masih tersisa.
Ia
mengulurkan tangannya untuk menarikku berdiri. Kemudian ia menatap mataku
lekat-lekat. Tatapan matanya rupanya selembut dan sehangat suaranya ketika
bernyanyi. Seketika, aku merasa aman.
“Kamu
pasti ingat aku,” ucapnya sambil tersenyum.
“Lagumu...”
“Bukan,
ini adalah lagumu. Hanya untukmu,” ucapnya.
Ia
kemudian menyenandungkan lagu klasik familiar
yang kudengar selama dua senja.
And you can tell everybody this is your song
It may be quite simple but now that it’s done
I hope you don’t mind
I hope you don’t mind, that I
put down in words
How wonderful life is now
you’re in the world
***
Tentang Penulis
Anitya Wahdini, lahir di Jakarta pada tanggal
4 Juli 1983. Menjadi seorang ibu, sebelum menjadi seorang guru. Menyayangi
murid-muridnya seolah mereka itu teman, sahabat, partner, dan anak-anaknya
sendiri. Memiliki obsesi tersendiri pada warna pink dan serial Glee. Ingin jadi aktris Broadway seperti
Lea Michele di kehidupannya yang lain. Selalu berkhayal!
No comments:
Post a Comment