“Aku
takkan mati.”
Kata-kata
itu terus terngiang di benak Roy, meskipun tiga minggu telah berlalu. Ia masih
hafal betul getaran setiap suku kata. Menusuk setiap jengkal pori-pori kulitnya
seperti angin musim dingin. Roy bukan pria penakut. Ia telah menghadapi
berbagai ancaman, ujian, dan pertempuran. Tak satu pun dapat melumpuhkannya.
Tetapi tiga kata itu terus mengangkat bulu romanya. Roy memejamkan mata, tapi
cepat-cepat ia membukanya lagi. Dalam gelap, kata-kata itu menggema dan
terdengar makin keras. Fungsi otak dan telinganya jauh meningkat ketika matanya
terpejam. Roy membenamkan kepalanya di tangannya yang kasar, dan telapak
tangannya menyentuh rambut pirangnya yang basah penuh keringat.
Suara
yang sama pernah menjadi suara paling indah yang pernah Roy dengarkan. Ia masih
ingat, ada masa-masa di mana ia rela melakukan apapun untuk mendengar suara
itu. Jane, nama terindah yang Roy tahu. Ada masa-masa di mana ia akan
mengucapkan nama itu berkali-kali, merasakan cinta dan keindahan yang luar
biasa dalam setiap pengucapan. Jane. Roy tak pernah bisa menemukan kata-kata
yang tepat untuk menggambarkannya. Baginya, Jane adalah perpaduan sempurna
hal-hal paling indah sekaligus rumit dan menantang dalam hidupnya. Jane. Oh,
Jane...
“Aku
takkan mati.”
Tiga minggu, pikir
Roy. Dari semua hal yang bisa melekat,
mengapa itu? Roy tak ingin membayangkan jawabannya. Hampir setiap detik
yang ia lalui sejak sebulan lalu penuh terisi suara tersebut. Roy menghela nafas
panjang. Sekuat tenaga ia kumpulkan. Lidahnya bergetar. “Jane,” ucapnya lirih.
***
Di
minggu pertama, Roy hanya bisa duduk di pinggir kamarnya tanpa busana. Sehelai
kain pun membuat kulitnya terasa perih. Bahkan setetes air terlalu menyakitkan
untuknya. Segala yang ia sentuh mengingatkannya akan kulit pualam Jane.
Sentuhannya yang lembut, namun membakar seluruh sel-sel tubuh siapapun yang
menyentuhnya. Jane, yang selalu menaklukkan Roy dengan telapak tangannya yang
halus. Roy masih ingat betul pertama kali ia memegang tangan Jane. Tangan yang
dingin, namun Roy merasa sekujur tubuhnya terbakar. Belum pernah sebelumnya ia
merasakan gejolak sekuat itu. Gejolak perkasa yang terbawa oleh tangan yang mungil.
Ada
masa-masa di mana Roy merasa dirinya beruntung karena bisa menikmati sentuhan
Jane lebih dari siapapun. Ia hafal sensasi dari seluruh bagian tubuh Jane
seperti seorang intelektual yang hafal berbagai teori ilmu pengetahuan. Roy tak
pernah melupakan malam-malam yang dingin yang ia lewatkan sambil menghangatkan
diri dalam dekapan Jane. Roy masih ingat sentuhan jari-jarinya yang kasar di
tiap helai rambut hitam Jane yang seperti sutera. Tiap helai rambut Jane adalah
harta bagi tangan Roy. Roy masih bisa merasakan getaran Jane di bibirnya. Saat
ini rasanya menyakitkan, tetapi ada masa-masa di mana bibir Roy memperlakukan
seluruh bagian dari Jane seperti berlian langka. Mulai dari bibirnya yang
tajam, turun ke lehernya yang terbentuk sempurna, terus menelusuri setiap
jengkal, hingga keduanya berpadu dalam kenikmatan di tengah keheningan malam.
“Jane,” ucap Roy saat itu, seperti doa.
Sejak
minggu lalu, semua itu perlahan mengoyak Roy. Ia yakin, jika semua yang ia
rasakan kini nyata ia bisa melihat bercak-bercak darah di sekujur tubuhnya.
***
Di
minggu kedua, Roy menjaga agar semua jendela di sekitarnya tertutup. Tiupan
angin telah menjadi musuh barunya. Hembusan udara seakan-akan membawa semua
aroma yang sudah dua minggu ini ia hindari. Aroma...ia tak pernah bisa
menggambarkan dalam kata-kata. Wangi yang kuat, menggiurkan, tapi juga
memabukkan. Wangi itu pernah menjadi candu baginya. Menghajar hidungnya setiap
malam, dan banyak yang iri pada Roy karenanya. Ada masa-masa di mana ia sungguh
beruntung, dan sungguh tergila-gila dengan aroma di sekujur tubuh Jane.
Roy
pernah tak bisa melewati satu hari tanpa menghirup aroma yang mengelilingi
Jane. Baginya, sensasi leher sempurna Jane di bawah lubang hidungnya seperti
asap mariyuana. Nikmat dan memabukkan. Sudah berkali-kali Roy terbawa melayang
ke sebuah dunia asing, hanya dengan menghela nafas di dekat Jane. Ada masa-masa
di mana Roy akan mendekatkan wajahnya ke rambut Jane, hanya untuk menambah
sensasi memabukkan yang menjadi santapan pokoknya. Jane, yang ia yakini tidak
memiliki aroma dunia. Udara yang berhembus ketika ia muncul terlalu kuat,
terlalu lembut untuk jadi aroma sehari-hari. Dalam setiap helaan nafas, Roy
akan memejamkan mata, menyerap seluruh keindahan yang ditimbulkan aroma dari
Jane ke dalam memorinya. Memori itu yang akan menemani Roy di pagi hari, sampai
malam berikutnya ketika Jane kembali ke dekapannya. “Jane,” bisik Roy dalam
kekaguman.
Kini
Roy hanya bisa berharap ia dapat menghapus memorinya. Bahkan dengan jendela
tertutup Roy masih dapat merasakannya. Udara yang pernah jadi candu baginya
kini hanya membuatnya kesulitan bernafas sejak empat belas hari yang lalu.
***
Empat
belas hari yang lalu, Roy menemui wanita yang pernah menjadi candu baginya
untuk kesekian kalinya. Sekujur tubuhnya bergetar. Udara saat itu dingin,
tetapi hati Roy membara. Ia nyaris lumpuh, tetapi semua ini bukan hal baru
baginya. Jane, di hadapannya, selalu menimbulkan efek yang luar biasa bagi Roy.
Namun kali ini berbeda. Sebelumnya, keberadaan Jane di dekatnya selalu membuat
Roy tersenyum lebar. Kali ini matanya berkaca-kaca. Namun ia berusaha melawan
air matanya. Roy menegakkan kepalanya, dan menatap langsung wanita di
hadapannya.
Roy
melangkah maju. Satu, dua, tiga... Ia
merasa konyol menghitung langkah kakinya sendiri, namun ia tak bisa
menghindarinya. Roy terus melangkah sampai nyaris tak ada jarak yang memisahkan
dirinya dengan Jane. Roy menundukkan kepalanya, menyentuhkan keningnya dengan
kening Jane. Sensasinya masih sama. Dingin dan membakar di saat yang bersamaan.
Air mata yang sudah lama menggenang di pelupuk mata Roy akhirnya jatuh. Suara
air mata yang menetes di lantai terdengar lantang di telinga Roy. Roy menatap
mata gelap Jane dalam-dalam. Sepasang mata yang pernah menjadi pemandangan
favoritnya, dengan tatapan menerawang yang pernah membuatnya tergila-gila.
Roy
merasakan kepala Jane bergerak sedikit. Ia berusaha tetap tegak, walaupun
jantungnya berdegup makin kencang ketika ia rasakan Jane menengok ke bawah, ke
arah tangan kanan Roy yang bergetar. Jane terhentak. Cepat-cepat ia
mengembalikan pandangan ke arah mata Roy yang kini suram dan basah. Jane
melangkah mundur, dan dengan sekuat tenaga Roy memaksakan kaki-kakinya yang
nyaris lumpuh untuk maju mengikuti Jane hingga mereka terhalau dinding.
“Roy...”
ucap Jane lirih. Roy berusaha melawan emosi yang bertabrakan di dalam dirinya.
Ia terus maju, menekan tubuh mungil Jane melawan dinding. “Tidak...”
Roy
ingin menuruti kata-kata Jane, seperti yang ia lakukan selama ini. Tapi kali
ini ia tidak bisa. Ia harus
melawannya. Tangan kiri Roy yang besar mencengkeram erat-erat bahu kurus Jane,
yang terkejut karena ia telah terbiasa dengan sentuhan lembut penuh kekaguman
dari tangan itu. Jane berusaha lari, namun tangan Roy terlalu kuat dan
menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Roy menatap wajah sempurna di bawahnya. Ia tak
percaya ada masa-masa di mana ia begitu mengagumi wajah yang sama. Air mata Roy
kembali tumpah, kali ini tetesannya mendarat di pipi Jane. Tempat bibir Roy dulu
terbiasa memuaskan hasrat terdalamnya.
Tangan
kanan Roy terayun ke tubuh Jane. Jane hendak berteriak, tetapi sebelum ia
sempat bersuara tangan kanan Roy berhadapan langsung dengan perutnya. Roy
memejamkan mata—ia sudah tak sanggup lagi. Tubuhnya bertambah panas. Sekilas ia
membuka mata, dan nyaris semua di bawahnya telah berubah warna. Merah terang.
Jane
merintih. Air mata Roy terus jatuh, dan kini ia berharap ada sesuatu yang bisa
menutup telinganya. Tangan kirinya terus menahan tubuh Jane, dan tangan
kanannya kembali berhadapan dengan perut di bawahnya. Rintihan Jane kali ini
sama sekali tidak terdengar seperti suara malaikat yang Roy kenal. Roy kembali
membuka matanya sekilas. Kali ini bahkan tubuhnya sendiri penuh percikan merah
terang. Setelah matanya kembali terpejam, Roy kembali mengayunkan tangannya
hingga berhadapan dengan perut Jane. Mencabik-cabik dua nyawa yang kini mulai
perlahan, tapi pasti memudar.
Roy
menjauh sedikit. Ia melihat mata Jane menerawang jauh—lebih daripada yang
selama ini Roy tahu. Jane mengarahkan matanya ke langit-langit, kemudian pindah
ke wajah Roy. Kali ini Roy tak bisa memejamkan mata. Semuanya begitu nyata. Roy
merasakan hatinya terbakar habis melihat air mata mengalir dari mata Jane.
Sepasang mata yang dulu membawanya ke berbagai dunia asing kini nyaris kosong,
hanya sisa-sisa derita yang masih mengapung.
“Roy...”
kembali Jane bergumam. Suaranya nyaris padam, tapi Roy masih dapat mendengarnya
dengan jelas. Roy membuka mulutnya. Ia tak tahu harus berkata apa—ia bahkan tak
tahu mengapa mulutnya terbuka, dan lidahnya gemetar hebat. Nafasnya
terengah-engah.
“Jane,”
Roy akhirnya angkat suara. Suaranya lemah—nyaris menandingi lemahnya suara yang
sebelumnya memanggil namanya. Tangan kiri Roy melepaskan bahu Jane, dan
mengusap pipinya. Berusaha mengulang sentuhan-sentuhan mesra yang dulu menjadi
bagian dari mereka. “Oh, Jane...”
“Aku
takkan mati...” suara Jane terdengar lagi. Kali ini jauh lebih kuat daripada
sebelumnya, dan jauh lebih tajam daripada apa yang telah menghancurkannya. Roy
membuka matanya lebar-lebar. Air matanya makin deras, dan tangan kanannya
langsung menghantam leher sempurna yang dulu memabukkannya, warna merah merekah
melawan warna kulit yang pucat.
***
Di
minggu ketiga, Roy makin tak mengenali dirinya sendiri. Semua sentuhan yang ia
rasakan, semua elemen udara yang ia hirup, semua suara yang ia dengar perlahan
menghancurkannya. Roy membayangkan, jika semua itu nyata, dirinya terbaring
tanpa kekuatan, dengan darah mengalir dari sekujur tubuhnya. Mungkin malah akan jauh lebih baik, pikirnya.
Sudah tak terhitung berapa kali Roy hampir mencabut nyawanya sendiri. Ujung belati
di lehernya, sudah begitu dekat dan tak pernah menyayat.
Roy
takut. Takut dengan apa? Ia sendiri tak tahu jawabannya. Ia hanya yakin,
betul-betul yakin, bahwa apapun yang menantinya di sana akan menimbulkan rasa
sakit yang jauh lebih hebat. Tuhan? Neraka? Roy menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dua kata itu sudah lama ia buang jauh-jauh dari benaknya. Tiga minggu sudah Roy
tidak memikirkannya lagi, hingga sekarang.
Roy
membenamkan kepalanya di tangannya. Dulu tangannya sekedar kasar, namun kini
tangannya berlumuran darah. Darah yang sudah tiga minggu memudar, tetapi masih
bisa ia rasakan. Setiap kali Roy melihat tangan kanannya, warna merah terang
merekah di jari-jarinya. Tangan kirinya mencengkeram rambutnya erat-erat,
seperti cengkeramannya tiga minggu yang lalu. Nafas Roy beradu cepat. Inikah?
Inikah rasanya di ambang kematian—walaupun tidak secara harfiah? Inikah yang dia rasakan tiga minggu yang lalu?
Roy
mengangkat kepalanya, dan tepat di depan matanya pemandangan yang ia saksikan tepat
tiga minggu yang lalu. Pemandangan yang sebelum hari itu begitu ia gilai dan
pada hari itu berusaha ia hindari. Kali ini, pemandangan itu membuatnya
bertanya-tanya apakah ia benar-benar belum
mati.
Sosok
di depannya terus mendekat. Refleks, Roy berdiri, walaupun ia tahu ia tidak
akan bisa menghindar. Jantungnya berdegup makin kencang, seperti tiga minggu
yang lalu, dan nafasnya makin tidak beraturan. Roy bahkan tidak bisa memejamkan
matanya. Seperti hari itu, semuanya begitu nyata.
Dia
maju. Roy melangkah mundur—apa yang terjadi hari itu sedang dimainkan dalam
posisi mundur. Roy makin yakin dirinya tak akan bisa menghindar. Dia mendekat,
dan kali ini Roy bisa merasakan hembusan nafasnya. Dingin. Roy merasa seluruh
tubuhnya nyaris membeku. Dingin, dan—Roy menelan ludah—mematikan.
Roy
terus mundur, sampai ia merasakan ada yang menghalanginya di belakang. Bukan
dinding seperti yang dia hadapi di hari itu, tetapi udara kosong. Jendela yang
selama ini ia tutup terbuka lebar. Roy tahu persis apa yang menantinya
sekarang, tapi ia masih tak mau percaya, walaupun semuanya terpampang nyata.
“Jane,”
bisik Roy. Di hari itu suaranya penuh iba dan rasa takut, tapi kali ini hanya
ada rasa takut yang kuat. Di depan matanya yang membelalak, sepasang mata yang
dulu membuatnya tergila-gila dan nyaris membuatnya sungguh gila tiga minggu yang lalu menerawang langsung ke arah
dirinya. Roy tahu mata itu tajam, tapi apa yang ia hadapi kali ini melebihi apa
yang selama ini ia ketahui. Ia kembali membuka mulut, mengingat nama yang
pernah ia kagumi dan kemudian ia hancurkan. “Jane...”
Dia
makin mendekat. Kaki Roy sudah tak bisa bergerak lagi, namun ia tetap tertarik
mundur. Seketika, sekelilingnya berputar begitu cepat. Kembali ia terbawa ke
sebuah dunia asing—dunia yang paling ia hindari, yang paling ia benci. Roy
merasakan dirinya hancur perlahan. Tangan kanannya kembali berwarna merah
terang. Roy menerawang, berusaha menarik nafas di tengah-tengah genangan darah.
Dia masih di sana. Wajah sempurnanya memandang tajam Roy. Tak ada keraguan. Tak
ada ketakutan. Satu wajah pualam terpampang tanpa ekspresi berarti,
“Aku
takkan mati.”
Dalam
gelap, Roy tak mendengar apa-apa lagi setelahnya.
Perth, WA, Australia
February 24, 2015
No comments:
Post a Comment