“Aku
takkan mati.”
Kata-kata
itu terus terngiang di benak Roy, meskipun tiga minggu telah berlalu. Ia masih
hafal betul getaran setiap suku kata. Menusuk setiap jengkal pori-pori kulitnya
seperti angin musim dingin. Roy bukan pria penakut. Ia telah menghadapi
berbagai ancaman, ujian, dan pertempuran. Tak satu pun dapat melumpuhkannya.
Tetapi tiga kata itu terus mengangkat bulu romanya. Roy memejamkan mata, tapi
cepat-cepat ia membukanya lagi. Dalam gelap, kata-kata itu menggema dan
terdengar makin keras. Fungsi otak dan telinganya jauh meningkat ketika matanya
terpejam. Roy membenamkan kepalanya di tangannya yang kasar, dan telapak
tangannya menyentuh rambut pirangnya yang basah penuh keringat.