Halo Kawan...
Nah, tadinya gua lagi pacaran ria aja sama si Laptop, ngetweet, buka Facebook, dst., sampe inget kalo gue punya blog baru. Dan gue lagi pengen nulis sesuatu. Awalnya bingung mau nulis apa, terus gua inget kalo di Tunisia dan Mesir sekarang lagi rusuh-rusuhnya. Jujur gue nggak begitu tau penyebab kerusuhan di dua negara itu, karena gue udah lama banget ga baca koran karena gua baru pindah rumah dan belum nemu agen koran yang deket-deket sini, dan udah lama juga ga nonton berita. Kenapa gue jadi jarang nonton berita, karena dua minggu ini ada turnamen tenis Australian Open, jadi tentunya gue nonton itu terus, lagian gue bingung mau nonton berita di channel apa. Sebenernya channel TV dengan berita terbaik tuh ya Metro TV sama tvOne, tapi kedua channel tersebut makin lama bikin risih aja karena beritanya nggak pernah netral, selalu ada keberpihakan politik. Sesekali aja gue buka situs berita di internet, atau mantau berita yang muncul di Twitter.
Intinya di kedua negara tersebut ada kerusuhan di mana-mana--maksudnya ga cuma di satu wilayah doang, dan gue bisa ambil kesimpulan kalo yang jadi pihak antagonis kerusuhan tersebut adalah pemerintah. Kalau Presiden Tunisia (gue gatau namanya) udah melarikan diri dari negaranya, Presiden Mesir, Hosni Mubarak, masih stay dan dengan pedenya menyatakan nggak mau mengundurkan diri dari jabatannya meskipun udah menjabat selama 30 tahun, dan didemo di mana-mana, sampai ada korban jiwa.
Nah, itu yang bikin gue inget sama krisis moneter dan kerusuhan di Indonesia tahun 1997 - 1998. Nggak banyak dari peristiwa itu yang bener-bener mbekas di benak gue, to be honest. Gue kelahiran 1995, berarti waktu kejadian itu umur gue masih 2 - 3 tahun--ngerti apa sih anak segitu? Tapi gue sering diceritain soal betapa suramnya masa-masa itu sama bapak gua, ibu gua, guru gua, dll. Inti ceritanya sama: tahun 1997 - 1998 itu bener-bener masa suram dalam sejarah Indonesia, dan sangat traumatis bagi banyak orang.
Gue sering minta diceritain tentang kejadian itu ke orang-orang yang lebih dewasa, atau nggak nyari informasi di internet yang berkaitan sama peristiwa itu. Kalau mau yang agak santai, tinggal baca Lagak Jakarta-nya Benny & Mice yang rilis tahun-tahun segitu. Gue suka sejarah, suka banget, dan salah satu topik sejarah favorit gue ya krisis moneter dan kerusuhan 1997 - 1998 itu.
Guru bahasa Indonesia gue di sekolah pernah cerita, waktu tahun 1998 itu dia masih SD. Dia sekolah di Salemba, dan suatu hari dia lagi belajar di kelas, dia denger banyak suara bom molotov di sekitar sekolahnya. Ya bayangin aja, lo masih SD, lagi belajar di kelas, tau-tau suara letusan di mana-mana. Udah gitu, dia cerita kalo siangnya dia takut banget pulang sekolah karena Jakarta waktu itu bener-bener bukan tempat yang aman. Dan lagi, waktu itu kan ada semacam sentimen anti-Tionghoa. Kebetulan guru bahasa Indonesia gue itu mukanya emang agak-agak mirip orang Tionghoa--padahal dia Sunda asli. Jadilah, dia agak ngeri tiap kali keluar rumah.
Bapak gue juga pernah cerita, tahun itu dia masih kerja di TVRI. Banyak orang TVRI yang gabisa dateng ke lokasi siaran karena kondisi jalanan emang parah banget, perusuh di mana-mana. Banyak orang yang udah on the way ke lokasi siaran terpaksa disuruh pulang sama bapak gue--kebetulan beliau dulu koordinator siarannya--karena alasan keamanan. Suatu malem bapak gue mau pulang ke rumah, dia ngelewatin salah satu jalan dan jalanan itu dijaga ketat. Dia langsung bilang, "Saya orang TVRI, saya mau pulang. Anak saya masih kecil di rumah." Alhamdulillah dia diizinin lewat. Terus dia cerita, saking langkanya barang-barang, dia sampe beli susu berkaleng-kaleng buat gue terus disimpen di gudang buat persediaan. Jatohnya emang nimbun, tapi bisa dimengerti. Seandainya lo punya anak masih kecil, barang mendadak langka, lo mungkin cenderung mikir, "Gue ga peduli orang lain mau kayak gimana, yang penting anak gua bisa makan."
Terus kebetulan di kompleks tempat tinggal gua dulu banyak orang Tionghoa. Bapak gua yang kebetulan dulu Ketua RT langsung merintahin ronda, semua akses masuk kompleks diblokade tiap malem. Wanita dan anak-anak wajib tinggal di rumah, laki-laki dewasa wajib ikut ronda. Semua rumah warga Tionghoa dijaga ketat, dan di kompleks itu ada toko yang jualannya lumayan lengkap--makanan, minuman, asesoris, alat-alat kantor, dll.--dan pemiliknya Tionghoa. Jadilah toko itu dijaga superketat, karena takut dijarah perusuh. Katanya, jaman dulu toko-toko milik orang Tionghoa banyak yang dijarah, sampe banyak toko yang masang tulisan 'TOKO INI MILIK PRIBUMI' atau 'PRO-REFORMASI' supaya nggak diganggu perusuh.
Yang paling serem adalah cerita tentang mal di Klender. Konon katanya, sakitnya karena diguna-guna...gadeng, konon katanya toko itu dijarah oleh sekumpulan orang yang digerakkan provokator yang sampai sekarang nggak ketauan siapa. Setelah puas ngejarah, semua pintu di mal ditutup, terus mal itu dibakar. Ratusan orang kejebak di dalem dan meninggal.
Masa-masa itu suram banget pastinya, dan yang ada di benak gua kalau inget sentimen anti-Tionghoa adalah temen-temen gua. Kebetulan di sekolah gue lumayan banyak murid keturunan Tionghoa, dan gue ngebayangin betapa mencekamnya keadaan waktu itu buat keluarga mereka. Keluar rumah nggak bisa bebas, ancaman dibunuh/diperkosa di mana-mana...ya Allah, gue sendiri ga kuat ngebayanginnya.
Yang jadi pertanyaan semua orang (termasuk gue) sekarang, siapa dalang di balik kerusuhan itu? Okelah, rakyat Indonesia waktu itu marah besar karena krisis moneter dan KKN-nya Orde Baru, tapi apa masuk akal kalo mereka langsung tumpah ruah ngerusuh serempak di banyak tempat di Jakarta (dan Medan serta Solo)? Pastinya ada provokator yang mau nyari keuntungan dari keadaan yang sangat nggak menentu saat itu--dan siapa provokator itu sampai sekarang belum ketauan. Provokator itulah yang bertanggungjawab atas entah berapa orang yang jadi korban--fisik maupun psikis--dari peristiwa itu, kerugian entah berapa rupiah, trauma yang nggak sembuh-sembuh, dan lain-lain.
Dan lagi gue tanya, ke mana hati orang yang tega ngejebak ratusan orang di Klender terus ngebakar begitu aja? Kurang puas liat Indonesia waktu itu carut-marut, masih mau ngeliat banyak orang menderita? Kalo mereka kira ngebunuh orang itu cara yang efektif buat reformasi, SALAH BESAR. Mending kalo yang dibunuh orang-orang yang emang ketauan KKN, tapi ini rakyat nggak bersalah yang dibunuh. Secara massal dan tragis. Ngebayanginnya aja gue pengen meringis, asli.
Gue ngebayangin kalo waktu itu gue udah segede sekarang ini lah misalnya. Keluar rumah ga bisa tenang. Mungkin ga bakal makan siang di sekolah--saking rongsoknya rupiah waktu itu. Semua TV nyiarin berita suram yang sama. Kompleks diblokade sana-sini, banyak toko yang dijarah, Kalimalang hangus--bakal amat sangat ngeri karena sekolah gue di Kalimalang.
Yah, segitu aja buat malem ini. By the way, besok gua tes bahasa Inggris dan tes main bas, mohon do'a ya.
*kasih label*
*klik 'terbitkan entri'*
Nah, tadinya gua lagi pacaran ria aja sama si Laptop, ngetweet, buka Facebook, dst., sampe inget kalo gue punya blog baru. Dan gue lagi pengen nulis sesuatu. Awalnya bingung mau nulis apa, terus gua inget kalo di Tunisia dan Mesir sekarang lagi rusuh-rusuhnya. Jujur gue nggak begitu tau penyebab kerusuhan di dua negara itu, karena gue udah lama banget ga baca koran karena gua baru pindah rumah dan belum nemu agen koran yang deket-deket sini, dan udah lama juga ga nonton berita. Kenapa gue jadi jarang nonton berita, karena dua minggu ini ada turnamen tenis Australian Open, jadi tentunya gue nonton itu terus, lagian gue bingung mau nonton berita di channel apa. Sebenernya channel TV dengan berita terbaik tuh ya Metro TV sama tvOne, tapi kedua channel tersebut makin lama bikin risih aja karena beritanya nggak pernah netral, selalu ada keberpihakan politik. Sesekali aja gue buka situs berita di internet, atau mantau berita yang muncul di Twitter.
Intinya di kedua negara tersebut ada kerusuhan di mana-mana--maksudnya ga cuma di satu wilayah doang, dan gue bisa ambil kesimpulan kalo yang jadi pihak antagonis kerusuhan tersebut adalah pemerintah. Kalau Presiden Tunisia (gue gatau namanya) udah melarikan diri dari negaranya, Presiden Mesir, Hosni Mubarak, masih stay dan dengan pedenya menyatakan nggak mau mengundurkan diri dari jabatannya meskipun udah menjabat selama 30 tahun, dan didemo di mana-mana, sampai ada korban jiwa.
Nah, itu yang bikin gue inget sama krisis moneter dan kerusuhan di Indonesia tahun 1997 - 1998. Nggak banyak dari peristiwa itu yang bener-bener mbekas di benak gue, to be honest. Gue kelahiran 1995, berarti waktu kejadian itu umur gue masih 2 - 3 tahun--ngerti apa sih anak segitu? Tapi gue sering diceritain soal betapa suramnya masa-masa itu sama bapak gua, ibu gua, guru gua, dll. Inti ceritanya sama: tahun 1997 - 1998 itu bener-bener masa suram dalam sejarah Indonesia, dan sangat traumatis bagi banyak orang.
Gue sering minta diceritain tentang kejadian itu ke orang-orang yang lebih dewasa, atau nggak nyari informasi di internet yang berkaitan sama peristiwa itu. Kalau mau yang agak santai, tinggal baca Lagak Jakarta-nya Benny & Mice yang rilis tahun-tahun segitu. Gue suka sejarah, suka banget, dan salah satu topik sejarah favorit gue ya krisis moneter dan kerusuhan 1997 - 1998 itu.
Guru bahasa Indonesia gue di sekolah pernah cerita, waktu tahun 1998 itu dia masih SD. Dia sekolah di Salemba, dan suatu hari dia lagi belajar di kelas, dia denger banyak suara bom molotov di sekitar sekolahnya. Ya bayangin aja, lo masih SD, lagi belajar di kelas, tau-tau suara letusan di mana-mana. Udah gitu, dia cerita kalo siangnya dia takut banget pulang sekolah karena Jakarta waktu itu bener-bener bukan tempat yang aman. Dan lagi, waktu itu kan ada semacam sentimen anti-Tionghoa. Kebetulan guru bahasa Indonesia gue itu mukanya emang agak-agak mirip orang Tionghoa--padahal dia Sunda asli. Jadilah, dia agak ngeri tiap kali keluar rumah.
Bapak gue juga pernah cerita, tahun itu dia masih kerja di TVRI. Banyak orang TVRI yang gabisa dateng ke lokasi siaran karena kondisi jalanan emang parah banget, perusuh di mana-mana. Banyak orang yang udah on the way ke lokasi siaran terpaksa disuruh pulang sama bapak gue--kebetulan beliau dulu koordinator siarannya--karena alasan keamanan. Suatu malem bapak gue mau pulang ke rumah, dia ngelewatin salah satu jalan dan jalanan itu dijaga ketat. Dia langsung bilang, "Saya orang TVRI, saya mau pulang. Anak saya masih kecil di rumah." Alhamdulillah dia diizinin lewat. Terus dia cerita, saking langkanya barang-barang, dia sampe beli susu berkaleng-kaleng buat gue terus disimpen di gudang buat persediaan. Jatohnya emang nimbun, tapi bisa dimengerti. Seandainya lo punya anak masih kecil, barang mendadak langka, lo mungkin cenderung mikir, "Gue ga peduli orang lain mau kayak gimana, yang penting anak gua bisa makan."
Terus kebetulan di kompleks tempat tinggal gua dulu banyak orang Tionghoa. Bapak gua yang kebetulan dulu Ketua RT langsung merintahin ronda, semua akses masuk kompleks diblokade tiap malem. Wanita dan anak-anak wajib tinggal di rumah, laki-laki dewasa wajib ikut ronda. Semua rumah warga Tionghoa dijaga ketat, dan di kompleks itu ada toko yang jualannya lumayan lengkap--makanan, minuman, asesoris, alat-alat kantor, dll.--dan pemiliknya Tionghoa. Jadilah toko itu dijaga superketat, karena takut dijarah perusuh. Katanya, jaman dulu toko-toko milik orang Tionghoa banyak yang dijarah, sampe banyak toko yang masang tulisan 'TOKO INI MILIK PRIBUMI' atau 'PRO-REFORMASI' supaya nggak diganggu perusuh.
Yang paling serem adalah cerita tentang mal di Klender. Konon katanya, sakitnya karena diguna-guna...gadeng, konon katanya toko itu dijarah oleh sekumpulan orang yang digerakkan provokator yang sampai sekarang nggak ketauan siapa. Setelah puas ngejarah, semua pintu di mal ditutup, terus mal itu dibakar. Ratusan orang kejebak di dalem dan meninggal.
Masa-masa itu suram banget pastinya, dan yang ada di benak gua kalau inget sentimen anti-Tionghoa adalah temen-temen gua. Kebetulan di sekolah gue lumayan banyak murid keturunan Tionghoa, dan gue ngebayangin betapa mencekamnya keadaan waktu itu buat keluarga mereka. Keluar rumah nggak bisa bebas, ancaman dibunuh/diperkosa di mana-mana...ya Allah, gue sendiri ga kuat ngebayanginnya.
Yang jadi pertanyaan semua orang (termasuk gue) sekarang, siapa dalang di balik kerusuhan itu? Okelah, rakyat Indonesia waktu itu marah besar karena krisis moneter dan KKN-nya Orde Baru, tapi apa masuk akal kalo mereka langsung tumpah ruah ngerusuh serempak di banyak tempat di Jakarta (dan Medan serta Solo)? Pastinya ada provokator yang mau nyari keuntungan dari keadaan yang sangat nggak menentu saat itu--dan siapa provokator itu sampai sekarang belum ketauan. Provokator itulah yang bertanggungjawab atas entah berapa orang yang jadi korban--fisik maupun psikis--dari peristiwa itu, kerugian entah berapa rupiah, trauma yang nggak sembuh-sembuh, dan lain-lain.
Dan lagi gue tanya, ke mana hati orang yang tega ngejebak ratusan orang di Klender terus ngebakar begitu aja? Kurang puas liat Indonesia waktu itu carut-marut, masih mau ngeliat banyak orang menderita? Kalo mereka kira ngebunuh orang itu cara yang efektif buat reformasi, SALAH BESAR. Mending kalo yang dibunuh orang-orang yang emang ketauan KKN, tapi ini rakyat nggak bersalah yang dibunuh. Secara massal dan tragis. Ngebayanginnya aja gue pengen meringis, asli.
Gue ngebayangin kalo waktu itu gue udah segede sekarang ini lah misalnya. Keluar rumah ga bisa tenang. Mungkin ga bakal makan siang di sekolah--saking rongsoknya rupiah waktu itu. Semua TV nyiarin berita suram yang sama. Kompleks diblokade sana-sini, banyak toko yang dijarah, Kalimalang hangus--bakal amat sangat ngeri karena sekolah gue di Kalimalang.
Intinya, gue berharap kejadian kayak gitu nggak bakal terulang lagi di Indonesia, dan semoga masalah di Tunisia dan Mesir bisa cepet selesai dan enggak berlarut-larut. Buat Hosni Mubarak, ayolah, yang legowo gitu kek buat mundur, if you love your Egyptian people and don't want to see anymore blood shed.
Yah, segitu aja buat malem ini. By the way, besok gua tes bahasa Inggris dan tes main bas, mohon do'a ya.
*kasih label*
*klik 'terbitkan entri'*
No comments:
Post a Comment